Semua orang ingin ibadahnya diterima dan
berpahala, akan tetapi ibadah tidak sah dan tidak diterima jika tidak berpondasikan
keikhlasan dan mutaba’ah (meneladani rasulullah).
Syeikh Hasan Al Uwaisyah berkata, “Jangan
lelahkan dirimu dengan banyak amal, betapa banyak orang yang beramal hanya
mendapatkan kelelahan di dunia dan akhirat, hendaklah belajar terlebih dahlu
tentang syarat syarat amal agar dierima” (Fiqh Dakwah wa tazkiaytun nafs : 9)
Jika dua syarat ini tidak terpenuhi, sebuah
amalan tidak bisa disebut amal solih dan tidak bisa diterima oleh Allah.
Allah berfirman :
فَمَن كَانَ يَرۡجُواْ لِقَآءَ
رَبِّهِۦ فَلۡيَعۡمَلۡ عَمَلا صَٰلِحا وَلَا يُشۡرِكۡ بِعِبَادَةِ رَبِّهِۦٓ أَحَدَۢا
Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan
Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang soleh dan janganlah ia
mempersekutukan seorangpun dalam beribadah kepada Tuhannya". (Q.S. Al
Kahfi : 110)
Al Hafidz Ibnu Katsir berkata, “Dua hal ini
adalah rukun amalan yang diterima, harus ikhlas karena Allah dan benar atau
sesuai dengan syariat rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam”.
Fudhoil bin Iyadh berkata, “Amalan itu jika
dikerjakan karena ikhlas namun tidak benar, maka belum diterima, jika amalan
itu benar namun tidak ikhlas juga belum diterima, sampai amalan tersebut benar
dan dikerjakan dengan ikhlas. Amalan itu ikhlas jika dikerjakan karena Allah
semata, dan amalan itu benar jika mengikuti Sunnah rasulullah.” (Ikhlas wa niat
oleh ibnu abid dunya : 15)
Wajibnya Ikhlas dalam Beribadah
Para Ulama telah berijma’ bahwa ikhlas adalah
kewajiban dan syarat sah ibadah.
Allah berfirman :
وَمَآ أُمِرُوٓاْ إِلَّا
لِيَعۡبُدُواْ ٱللَّهَ مُخۡلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ حُنَفَآءَ وَيُقِيمُواْ
ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤۡتُواْ ٱلزَّكَوٰةَۚ وَذَٰلِكَ دِينُ ٱلۡقَيِّمَةِ
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali
supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam
(menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan
menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus”.(Q.S. Al Bayyinah : 5)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadits qudsi tentang
bahaya riya’:
قَالَ
اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ مَنْ
عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيهِ مَعِى غَيْرِى تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ
“Allah Tabaroka wa Ta’ala berfirman: Aku sama
sekali tidak butuh pada sekutu dalam perbuatan syirik. Barangsiapa yang
menyekutukan-Ku dengan selain-Ku, maka Aku akan meninggalkannya dan perbuatan
syiriknya” (HR. Muslim no. 2985).
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ
تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ لاَ
يَتَعَلَّمُهُ إِلاَّ لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ الدُّنْيَا لَمْ يَجِدْ عَرْفَ
الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barangsiapa yang menuntut ilmu yang
sebenarnya harus ditujukan hanya untuk mengharap wajah Allah, namun ia
mempelajarinya hanya untuk meraih tujuan duniawi, maka ia tidak akan pernah
mencium bau surga pada hari kiamat nanti” (HR. Abu Daud no. 3664
Abu Umamah Al bahili berkata, “Seorang
laki-laki datang kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Apa
pendapatmu tentang seorang yang berperang mencari upah dan gelar nama? Apa yang dia akan
peroleh? Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Dia tidak
mendapat sesuatupun.” Dia mengulangi pertanyaannya sampai tiga kali, akan
tetapi Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam menjawab, “Dia tidak
mendapatkan sesuatupun. Kemudian Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak menerima amalan kecuali amalan yang
murni dan mencari wajah Allah.” (H.R. An Nasa’i)
Al Izz bin Abdus Salam
berkata, “Ikhlas dalam beribadah itu syarat ibadah” (Qowaidul Ahkam 1/150)
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah
berkata, “Allah tidak menerima Amalan kecuali dikerjakan karena mengharap wajah
Allah, oleh karena itu harus ikhlas dalam beribadah” (Al Fatawa Kubro : (2/235)
Makna Ikhlas
Ikhlas adalah memurnikan niat ibadah hanya
untuk Allah dan membersihkannya dari hal hal yang bisa mengurangi kemurnian
niat atau membatalkannya.
Al Izz bin Abdus Salam berkata, “Seseorang
beribadah karena Allah bukan karena selain Allah” (Qowaidul Ahkam 1/160)
Ibnul Qoyyim berkata, “Ikhlas adalah
berharap kepada Allah semata dalam beribadah” (Madarijus Salikin 1/581)
Dari definisi di atas bisa kita pahami
bahwa ikhlas itu memperbaiki dan membersihkan tujuan niat dalam beribadah hanya
untuk Allah semata, kemudian berusaha terus menerus secara istiqomah
menjaga niat agar jangan sampai
ternoadai dengan hal hal yang bisa mengotori ikhlas atau bahkan membatalkan
keihklasan.
Manfaat Ikhlas di Dunia
Dengan ikhlas seseorang akan selamatan dari
kesulitan, sebagaimana kisah tiga orang yang terperangkap dalam gua kemudian
selamat karena keikhlasan mereka dalam beribadah.
Dengan ikhlas juga akan
selamat dari kemaksiatan, Allah berfirman menjelaskan selamatnya Nabi Yusuf
dari kekejian zina.
كَذَٰلِكَ
لِنَصۡرِفَ عَنۡهُ ٱلسُّوٓءَ وَٱلۡفَحۡشَآءَۚ إِنَّهُۥ مِنۡ عِبَادِنَا
ٱلۡمُخۡلَصِينَ
Demikianlah, agar Kami memalingkan dari padanya
kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami yang
terpilih. (Q.S. Yusuf : 24)
Agar Ikhlas dalam beribadah
Agar bisa ikhlas dalam beribadah, di antara
hal yang bisa dilakukan adalah :
a. Memperbanyak
doa kepada Allah agar diberi keikhlasan dan terbebas dari riya maupun
kesyirikan.
اَللّهُمَّ إِنِّي
أَعُوْذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لاَ
أَعْلَمُ »
“Ya Allah, aku memohon perlindungan kepada-Mu dari
perbuatan menyekutukan-Mu sementara aku mengetahuinya, dan akupun memohon ampun
terhadap perbuatan syirik yang tidak aku ketahui.” (H.R. Ahmad)
b. Mengingat
ruginya orang yang beramal namun tidak diterima amalannya
Allah berfirman:
وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ
مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ
“Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah
mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) Sesungguhnya
mereka akan kembali kepada Tuhan mereka.” (Q.S. Al Mu’minun: 60)
قُلۡ
هَلۡ نُنَبِّئُكُم بِٱلۡأَخۡسَرِينَ أَعۡمَٰلًا ٱلَّذِينَ ضَلَّ سَعۡيُهُمۡ فِي
ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَا وَهُمۡ يَحۡسَبُونَ أَنَّهُمۡ يُحۡسِنُونَ صُنۡعًا
Katakanlah: "Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang
orang-orang yang paling merugi perbuatannya? Yaitu orang-orang yang telah
sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka
bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.(Q.S. Al Kahfi : 103-104)
Ibnu Rajab dalam kitabnya Jamiul Ulum wal Hikam
berkata: “Barang siapa yang berpuasa, shalat, berzikir kepada Allah, dan dia
maksudkan dengan amalan-amalan tersebut untuk mendapatkan dunia, maka tidak ada
kebaikan dalam amalan-amalan tersebut sama sekali, amalan-amalan tersebut tidak
bermanfaat baginya, bahkan hanya akan menyebabkan ia berdosa”
c.
Menghindari
hal hal yang bisa menyebabkan riya atau tidak ikhlas. Seperti beramal terangan terangan di hadapan
orang lain pada amalan yang bisa disembunyikan.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda
menjelaskan tujuh golongan yang akan Allah naungi pada hari tidak ada naungan
selain dari Allah, di antarannya
وَرَجُلٌ
تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ
يَمِينُهُ ، وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللَّهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ
“Seseorang yang bersedekah dan menyembunyikan
sedekahnya tersebut hingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diinfakkan
oleh tangan kanannya dan seseorang yang mengingat Allah di waktu sendiri hingga
meneteslah air matanya.” (H.R. Bukhari Muslim).
d. Senantiasa
menyadari besarnya pahala di akhirat dan hinanya kenikmatan dunia dibandingkan
akhirat.
Allah berfirman
وَمَا
هَٰذِهِ ٱلۡحَيَوٰةُ ٱلدُّنۡيَآ إِلَّا لَهۡوٞ وَلَعِبٞۚ وَإِنَّ ٱلدَّارَ
ٱلۡأٓخِرَةَ لَهِيَ ٱلۡحَيَوَانُۚ لَوۡ كَانُواْ يَعۡلَمُونَ
“Dan kehidupan dunia ini hanya senda gurau
dan permainan. Dan sesungguhnya negeri akhirat itulah kehidupan yang
sebenarnya, sekiranya mereka mengetahui. (Q.S. Al Ankabut : 64)
Rasulullah bersabda
وَاللهِ ، مَا الدُّنْيَا فِـي الْآخِرَةِ إِلَّا
مِثْلُ مَا يَـجْعَلُ أَحَدُكُمْ إِصْبَعَهُ هٰذِهِ – وَأَشَارَ يَحْيَ
بِالسَّبَّابَةِ – فِـي الْيَمِّ ، فَلْيَنْظُرْ بِمَ تَرْجِـعُ
“Demi
Allâh! Tidaklah dunia dibandingkan akhirat melainkan seperti salah seorang dari
kalian mencelupkan jarinya ke laut,- Yahya memberikan isyarat dengan jari
telunjuknya- lalu hendaklah dia melihat apa yang dibawa jarinya itu?
(H.R.
Muslim, no. 2858)
Demikian, semoga Allah senantiasa membimbing
kita untuk ikhlas dalam beribadah. (oleh : Abu Rufaid Agus Susehno, Lc)