Cari Blog Ini

Jumat, 27 Juli 2012

Generasi Salaf saat Ramadhan Tiba (2)

Kedermawanan salaf di bulan ramadhan


Ramadhan adalah bulan untuk memperbanyak sedekah dan meningkatkan kedermawanan. Dari Ibnu Abbas –radiyallahu anhu- berkata, “Nabi –salallahu alaihi wa sallam- adalah manusia yang paling dermawan, dan akan semakin dermawan ketika bulan ramadhan dan ketika malaikat Jibaril datang menemuinya” (diriwayatkan oleh Bukhari no 1803)

Ini adalah nabi kita dan suri tauladan kita. Beliau –salallahu alaihi wa sallam- telah memberikan contoh bagaimana menjadi dermawan di bulan ramadhan dan selain ramadhan.


Adapun sahabat, maka cukup kita melihat perbuatan Ibnu Umar radiyallahu anhu, dimana beliau ketika puasa di bulan ramadhan, maka beliau tidaklah berbuka puasa melainkan mengajar orang-orang miskin untuk makan bersamanya. Jika keluarganya mencegah, maka beliau pun tidak makan. Beliau ketika didatangi oleh seseorang yang minta makanan dan beliau sedang makan, maka beliau akan langsung mengambil bagiannya lalu diberikan kepada orang miskin tersebut.

Yunus bin Yazid berkata, “Ibnu Syihab ketika ramadhan tiba, maka beliau menghabiskan waktunya untuk membaca al qur’an dan memberi makan fakir miskin”.

Salaf dan salat malam

Shalat malam adalah adat kebiasaan orang-orang solih dan amalan orang-orang yang beruntung. Jika kita melihat keadaan para salaf, niscaya kita dapatkan perkara-perkara yang menakjubkan yang menunjukkan bagaimana salaf telah merasakan lezatnya dan nikmatnya bermunajat kepada Allah dengan shalat.

Pertama : Sebagian salaf memperpanjang salatnya dengan tanpa paksaan, tidak riya’ dan tidak sum’ah. Mereka melakukan itu semua karena mereka telah mendapatkan lezatnya salat. Jika tidak, niscaya mereka berlomba-lomba untuk mengucap salam penutup salat.

Misalnya adalah Ibnu Zubair, beliau suatu malam salat dengan membaca surat al baqarah, ali imran, kemudian an nisa’, namun beliau belum mengangkat kepalanya untuk shalat sedikitpun.

Nafi’ berkata, “Ibnu Umar suatu malam berdiri menjalankan salat malam di bulan ramadhan dirumahnya. Setelah orang-orang pergi dari masjid, maka Ibnu Umar mengambil air wudhu lalu menuju masjid rasulullah dan salat di dalamnya, beliau tidak keluar hingga salat subuh terlebih dahulu”

Kedua   : Selain itu, para salaf jika telah takbir masuk salat, maka khusyu’lah qolbu mereka, dan menjadi tenang anggota badannya, hingga terkadang sebagian orang menyangkanya seperti batu, bahkanmungkin burung terkadang menganggapnya tembok yang tidak bergerak.

Mari kita lihat teladan para salaf dalam hal ini. Misalnya adalah perkataan tsabit al banani, “aku diutus mendatangi Abdullah bin Az zubair, maka aku mendapatkan beliau sedang salat seperti kayu yang tertancap tegak tidak bergerak sama sekali.

Yahya bin tsabit berkata, “Ibnu Zubair ketika sujud, maka hinggaplah burung-burung di atas punggungnya, burung tersebut naik turun tidak mengindahkan keberadaan punggung abdullah bin zubeir.”

Ketiga   : mereka mendapatkan kelezatan shalat hingga melalaikan mereka dari apa yang terjadi di sekitar mereka.

Maimun bin Mahran berkata, “Aku tidak pernah melihat Muslim bin Yasar menoleh dalam salatnya, saat salah satu bangunan masjid runtuh hingga cemas seluruh orang yang di pasar, namun beliau masih saja khusyu’ dalam salat tidak menoleh sama sekali. Setelah diberi ucapan oleh orang-orang akan keselamatannya, dia heran dan tidak merasakan apa yang terjadi.”
               

Jumat, 20 Juli 2012

Generasi Salaf saat Ramadhan Tiba (1)

Dengan menyebut nama Allah, shalawat serta salam semoga tercurah atas Nabi r

Allah telah mengkhususkan bulan ramadhan dengan banyak sekali kekhususan dan keutamaan. Ramadhan adalah bulan di mana di dalamnya Al qur’an diturunkan, bulan penuh taubat, bulan ampunan, dihapuskannya dosa dan keburuka, dibukan pintu-pintu surga, dan ditutup pintu-pintu neraka dan dibelenggu para syetan dan seabrek keutamaan lainnya.

Karenanya, para salaf, yaitu tiga generasi awal umat ini betul-betul memahami berharganya bulan ramadhan. Para salaf menyingsingkan lengan untuk beribadah kepada Allah di bulan ini. Bahlan mereka jauh-jauh hari sebelumnya, bahkan 6 bulan sebelum datangnya ramadhan mereka senantiasa berdoa memohon kepada Allah untuk bertemu dengan bulan ramadhan. Setelah ramadhan meninggalkan mereka, merekapun berdoa kepada Allah selama 6 bulan setelahnya agar Allah menerima amalan-amalan mereka  di bulan Ramadhan.

Bagaimana salaf dalam memanfaatkan ramadhan?

Berikut ini sekilas keadaan salaf dalam mengoptimalkan bulan ramadhan.

Pertama               : keadaan salaf dalam menjaga lisan.
Kita tahu, bahwa puasa yang benar adalah menahan diri dari segala pembatal puasa semenjak terbit fajar hingga tenggelamnya matahari dengan niat ibadah kepada Allah dan juga menjaga dari berkata dusta maupun berbuat dusta. Rasulullah r menegaskan, “Barangsiapa tidak meninggalkan perkataan dusta, dan perbuatan dusta, maka Allah tidak membutuhkan puasanya yang hanya meninggalkan makan dan minum saja”. (diriwayatkan oleh Bukhari, no: 1804)

Dalam riwayat yang lain, rasulullah r menegaskan, “Jika salah seorang di antara kalian berpuasa di pagi hari, janganlah ia berkata keji dan janganlah berbuat perbuatan orang-orang bodoh, jika ia dicelah hendaklah ia berkata, “Aku sedang berpuasa”. (diriwayatkan oleh Muslim no: 1151)

Al Maazi menjelaskan arti “aku sedang berpuasa” : maksudnya adalah hendaknya seseorang mengingatkan dirinya untuk tidak membalas mencela.

Lalu, bagaimana salaf dalam menjaga lisan mereka saat berpuasa?

Umar bin Khottob berkata, “Puasa itu bukanlah hanya menahan dari makan dan minum saja, melainkan harus menjadi dari dusta, berkata batil, dan berkata sia-sia. Hal yang senada juga diucapkan oleh Ali bin Abi Tholib.

Dari Thalq bin Qais berkata, berkata Abu Dzar, “Jika kamu berpuasa, maka jagalah dirimu dari dosa semaksimal mungkin”.

Bahkan Thalq bin Qais ketika berpuasa, maka beliau berdiam diri di rumah, tidak keluar dari rumah kecuali untuk shalat.

Jabir Bin Abdillah berkata, “Jika kamu berpuasa, maka puasakanlah pendengaranmu, matamu, dan lisanmu dari kedustaan dan dosa, tinggalkanlah perbuatan menyakiti tetangga, hendaklah kamu lebih tenang pada saat berpuasa, janganlah kamu jadikan hari puasa dan bukan hari puasa sama saja.

Abu Mutawakkil menceritakan bahwa Abu Hurairah dan para sahabatnya jika berpuasa maka mereka duduk di masjid.

Abul Aliyah berkata, “Seseorang yang bepuasa senantiasa beribadah kepada Allah selama tidak ghibah (menggunjing orang lain).

ditulis oleh Abu rufaid agus suseno, Lc
Bersambung ....

Senin, 18 Juni 2012

Adab-adab Menuntut Ilmu

Terkadang seseorang menghabiskan separuh umurnya atau bahkan semua umurnya terus berkecimpung dengan ilmu, dari belajar di pesantren, mengikuti pengajian-pengajian rutin, bahkan sampai merantau ke negeri seberang. Namun, betapa banyak di antara mereka yang berkeluh kesah karena belum ada secuil ilmupun yang mereka dapatkan!. Adakah yang salah di balik itu semua?!

Jika kita cermati, niscaya kita dapatkan, bahwa di antara sebab yang menghalangi seseorang untuk mendapatkan ilmu adalah tidak adanya perhatian dari para penuntut ilmu terhadap adab-adab menuntut ilmu. Sedangkan berhias diri dengan adab-adab menuntut ilmu akan mempermudah para penuntut ilmu dalam menuntut ilmu dan akan membimbing mereka dalam memilih dan memilah mana ilmu yang lebih penting dari yang penting. 

Mempelajari adab-adab menuntut ilmu sangat penting sekali bagi para penuntut ilmu sebelum mulai melangkah untuk menuntut ilmu. Oleh karena itu, sangat masyhur dan sangat banyak sekali wasiat dari para ulama tentang pentingnya mempelajari adab-adab ini.

Imam Malik Rahimahullah pernah berkata kepada seorang pemuda dari keturunan Quraisy; “Wahai anak saudaraku, pelajarilah adab tersebut sebelum kamu memulai belajar ilmu.  {Al-Hilyah oleh Abi Nu’aim (6/330)}

Berkata Yusuf bin al Husein Rahimahullah: “Dengan adab, ilmu bisa dipahami.” {Iqtidho’ul Ilmi wal Amali oleh Khatib al Baghdadiy, hal: 170}

Berkata Abu Abdillah al-Balhi Rahimahullah, “Adab-adab ilmu lebih banyak daripada ilmu itu sendiri” { Al Adabu Asy Syar'iyyah (3/552)}

Syeikh Bakar Abu Zaid Rahimahullah berkata, “Ketahuilah, ilmu adalah mutiara di mahkota syariat yang paling berharga, tidak ada seorangpun yang bisa meraih ilmu tersebut kecuali yang berhias dengan adab-adabnya dan menjauhkan dirinya dari penyakit-penyakit ilmu” {Syarh Hilyatul Thalibil Ilmi: 10

Ini semua menunjukkan kepada kita, bahwa berhias dengan adab itu sangatlah penting bagi orang yang ingin menuntut ilmu.

Adab-adab menuntut ilmu

Berikut ini penulis sebutkan beberapa adab yang harus dimiliki oleh seorang penuntut ilmu sebelum melangkah untuk menuntut ilmu, saat menuntut ilmu, dan setelah mendapatkan ilmu.

Pertama: Adab-adab bagi penuntut ilmu sebelum mulai melangkah menuntut ilmu

1.     Menanam keikhlasan dalam hati

Menuntut ilmu adalah ibadah, bahkan termasuk ibadah yang paling agung lagi utama, dan ibadah tidak mungkin terealisasi kecuali dengan mengikhlaskan niat. Oleh karenanya, seseorang yang ingin menimba ilmu, harus berniat untuk merealisasikan perintah Allah Subkhanahu wa Ta'ala, menjaga atau melindungi syariat-Nya, dan untuk mengikuti syariat Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wa Salam. {Lihat syarh hilyatu thalibil ilmi hal: 14}
Allah Subkhanahu wa Ta'ala berfirman:
"Dan mereka tidak diperintahkan kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam menjalankan agama dengan lurus” {Surat Al Bayyinah: 5 }
Syeikh Bakar Abu Zaid Rahimahullah berkata, “Apabila dalam menuntut ilmu kehilangan keikhlasan, maka menuntut ilmu akan berubah menjadi amalan yang paling hina dan tidak ada yang bisa menghanguskan pahala dari menuntut ilmu melainkan riya', baik riya yang sampai ke derajat kesyirikan maupun riya yang mengurangi kesempurnaan keikhlasan seperti suka pamer dengan mengatakan aku telah mengetahuinya, aku telah hafal” {Syarh hilyah Thalibil ilmu, hal: 13 }
Al Hafidz Adz Dzahabi Rahimahullah berkata, “Menuntut ilmu -yang pada asalnya hukumnya wajib atau sunnah- terkadang bisa menjadi amalan yang tercela bagi seseorang, yaitu bagi seseorang yang menuntut ilmu untuk mengajak debat para ahli ilmu, mempermainkan orang-orang bodoh, ingin menjadi pusat perhatian, ingin diagungkan dan dihormati, mengharapkan kedudukan, harta dan martabat di dunia. Mereka termasuk orang-orang yang akan dinyalakan api neraka baginya' {Thalabul ilmi wa aqsamuhu, hal: 210}

2.     Berhias dengan ketakwaan

Takwa adalah kunci ilmu, itulah ungkapan yang tepat untuk menjelaskan kedudukan takwa dengan ilmu. Karena dengan ketakwaan, niscaya seseorang akan dipermudah untuk mendapatkan ilmu.

Ibnu Mas'ud Radliallahu 'anhu berkata, “Aku berpendapat, seseorang itu bisa lupa akan ilmunya yang pernah dia ketahui karena kesalahan yang dia perbuat” {Az Zuhd: 329

Waki' Rahimahullah berkata, “Tinggalkanlah kemaksiatan untuk memperkuat hafalan” {Roudhotul uqala': hal 29

Imam Malik Rahimahullah berkata kepada Imam Syafi'i Rahimahullah saat bertemu pertama kalinya, “Aku melihat Allah telah memberikan cahaya pada hatimu,maka janganlah kamu padamkan dengan kemaksiatan”{ A'lamul Muwaqi'in 4/258

3.     Tekad bulat untuk menuntut ilmu

Tidak ada sesuatu yang bisa diraih ketika tidak dibarengi dengan usaha untuk meraihnya, dan tidak ada usaha untuk meraihnya ketika tidak didukung oleh tekad yang bulat dan motivasi yang sempurna. Oleh karenanya, Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wa Salam berlindung dari kelemahan dan kemalasan, dan kemalasan adalah penghalang dari semua kebaikan. 

Syeikh Abdurrahman As Sa'di Rahimahullah berkata, “Tekad yang bulat dan keteguhan hati adalah sebab utama untuk meraih cita dan harapan yang beranekaragam” {Dinukil dari An Nubadz fi adabi thalabil ilmi, hal: 16}

Syeikh Bakar Abu Zaid Rahimahullah berkata, “Tekad yang bulat mendatangkan bagimu -dengan izin Allah- kebaikan yang tak terbatas, dan membawamu menuju tingkatan yang lebih sempurna” {Syarh Hilayu Thalibil ilmi, 107}

Kedua: Adab-adab bagi penuntut ilmu saat menuntut ilmu

1.     Belajar dari guru langsung

Belajar dari guru secara langsung memiliki manfaat yang begitu besar lagi banyak, di antaranya, menyingkat waktu belajar, lebih mudah untuk mengkokohkan ilmu, menghindari kesalahan pemahaman, melatih untuk lebih, dan manfaat-manfaat lainnya.{ Lihat syarh thalibil ilmi hal 74 dan an nubadz fi thalabil ilmi hal 18-20

Oleh karenanya, kita dapatkan banyak sekali perkataan para ulama yang menegaskan pentingnya belajar dari guru langsung, di antaranya: 

Sulaiman bin Musa Rahimahullah berkata: Ilmu tidak diambil dari buku” {At Tamhid 1/42}

Syeikh Bakar Abu Zaid Rahimahullah berkata, “Metode utama dalam menuntut ilmu adalah menimba ilmu dengan cara talqin dan talaqqi langsung dari para asatidzah dan masyayikh, dengan mendengar langsung dari guru dan bukan melalui lembaran-lembaran kertas maupun buku...” {Syarh thalibil ilmi 74

Kemudian beliau menyebutkan: “Barangsiapa menimba ilmu tanpa guru, sungguh dia akan keluar tanpa ilmu”

Namun, ketika seseorang ingin belajar dari guru langsung, tentunya dia harus memilih guru yang dia akan menimba ilmu darinya. Dia harus memilih guru yang memang akan mengajarkan ilmu kepadanya dengan benar. Para Ulama telah menegaskan pentingnya memilih guru, di antara lain:

Imam Malik Rahimahullah berkata, “Ilmu tidak bisa diperoleh dari empat orang, dan bisa diambil dari selain empat orang tersebut, yaitu Ilmu tidak bisa diperoleh dari orang bodoh, dari ahli bid'ah yang menyebarkan bid'ahnya, dari orang-orang pendusta yang berdusta saat berbicara kepada orang lain meskipun dia tidak tertuduh memalsu hadits Nabi Shalallahu 'alaihi wa Salam, dan tidak pula dari seorang syeikh yang telah berumur, solih, ahli ibadah apabila tidak memahami apa yang dia katakan.” {At Tamhiid oleh Ibnu Abdil Barr 1/66}

2.     Fokus dalam menuntut ilmu

Ketika seseorang ingin menimba ilmu syar'i, maka dia harus benar-benar memberikan konsentrasinya untuk belajar, jika hanya belajar di waktu-waktu senggang maka dia akan mendapatkan ilmu sesuai waktu yang dia berikan.

Lihatlah Malik bin Al Huwairits Radliallahu 'anhu berkonsentrasi penuh untuk belajar ilmu agama di rumah Rasulullah saw. Beliau berkata, “Aku mendatangi Nabi Muhammad saw bersama sekelompok orang dari kaumku, kemudian kami tinggal selama dua puluh hari di rumah beliau, beliau saw adalah orang yang penyayang dan lembut, setelah beliau merasakan kerinduan kami dengan keluarga kami, maka beliau Shalallahu 'alaihi wa Salam, berkata, “Pulanglah, tinggallah bersama mereka lalu ajarilah mereka dan shalatlah kalian bersama mereka... {HR Bukhari: 268}

3.     Mengadakan perjalanan

Mengadakan perjalanan dalam menuntut ilmu merupakan sebuah keniscayaan, tidak ada seorangpun yang tidak membutuhkan perjalanan saat menuntut ilmu.

Al Hafidz Ibnu Rajab Rahimahullah berkata, “Jika seseorang bisa mencukupkan diri belajar dengan tidak merantau, niscaya Nabi Musa 'Alaihi Salam tidak akan merantau untuk menimba ilmu karena Allah Subkhanahu wa Ta'ala telah memberikan kepadanya kitab suci taurat. Namun, setelah Allah memberitahukan kepadanya tentang Nabi Khidr 'Alaihi Salam yang memiliki ilmu yang tidak dimiliki oleh orang lain, maka beliau bertanya tentang cara untuk menemuinya, hingga akhirnya beliau dan pembantunya berjalan mencari Nabi khidr 'Alaihi Salam.”

4.     Bertahap dalam menuntut ilmu

Ilmu itu banyak dan bercabang, tidak mungkin seseorang menguasai cabang-cabangnya sebelum menguasai pokoknya, seperti cabang pohon yang tidak akan kuat menahan daun kecuali memang dahan tersebut kokoh.

Oleh karenanya, seseorang yang ingin menuntut ilmu, harus menguasai hal-hal prinsip terlebih dahulu sebelum mendalami cabang-cabang ilmu, menguasai prinsip-prinsip utama ilmu tidak mungkin terwujud kecuali dengan bertahap dalam menuntut ilmu.

Syeikh Bakar Abu Zaid Rahimahullah berkata, “Barangsiapa tidak menguasai hal-hal prinsip dalam ilmu, niscaya tidak akan sampai kepada tujuannya, dan barangsiapa menuntut ilmu tanpa melalui tahapan-tahapannya, niscaya ilmu yang dia dapatkan akan hilang”. {Syarh tholibil ilmi, hal: 54} 

Saudaraku, setelah kita mendapatkan ilmu, maka termasuk adab-adab bagi penuntut ilmu setelah mendapatkan ilmu adalah mengamalkan ilmu tersebut dan mencurahkan segala daya dan upayanya untuk menjaga ilmu. Wallau A'lam.  . ditulis oleh Abu Rufaid Agus Suseno, Lc

Minggu, 03 Juni 2012

Bolehkah Hutang di Bank?!


Bapak A  ingin membangun rumah, namun dia tidak memiliki uang cukup untuk membeli materialnya, lalu diapun meminjam ke bank untuk membangun rumah. Bapak B ingin memulai usaha yang membutuhkan modal banyak, maka diapun meminjam uang di bank, sedangkan bapak C terkena musibah, anaknya kecelakaan dan dirawat di rumah sakit sehingga membutuhkan biaya yang tinggi, maka dia pun lari ke bank untuk meminjan uang.

Gambaran di atas adalah sekelumit gambaran keadaan seseorang dalam kehidupan di dunia ini, terkadang seseorang dihadang kebutuhan mendadak yang harus segera ditunaikan, namun dia belum memiliki uang. 

Apakah kondisi-kondisi di atas bisa melegalkan seseorang untuk pinjam uang di bank? Dan apakah sebenarnya hukum pinjam uang di bank? Trus, bagaimana jika meminjam uang di bank syariah?

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, maka seyogyanya kita mengenal apa itu hakikat hutang piutang dalam islam.

Hutang piutang dalam agama kita adalah memberikan sesuatu yang menjadi hak milik pemberi pinjaman kepada peminjam dengan pengembalian di kemudian hari sesuai perjanjian dengan jumlah yang sama. Jika peminjam diberi pinjaman Rp. 1.000.000 maka di masa depan si peminjam akan mengembalikan uang sejumlah satu juta juga.

Pada asalnya, hukum hutang piutang adalah sunah bagi pemberi pinjaman, karena memberi pinjaman kepada yang membutuhkan adalah bentuk kelembutan dan kasih sayang kepada orang lain yang tertindih kesulitan, termasuk perbuatan saling tolong menolong antara umat manusia yang sangat dianjurkan oleh Allah SWT selama tolong-menolong dalam kebajikan, bahkan hutang piutang dapat mengurangi kesulitan orang lain yang sedang dirudung masalah serta dapat memperkuat tali persaudaraan kedua belah pihak, karenanya orang yang ingin meminjam dibolehkan, bukan termasuk meminta yang di makruhkan, selama tidak berhutang untuk perkara-perkara yang haram seperti narkoba, berbuat kejahatan, menyewa pelacur, dan lain sebagainya.     

Hukum memberi pinjaman terkadang bisa menjadi wajib, tatkala memberikan pinjaman kepada orang yang sangat membutuhkan seperti tetangga yang anaknya sedang sakit keras dan membutuhkan uang untuk menebus resep obat yang diberikan oleh dokter.

Disyariatkannya hutang piutang berdasarkan firman Allah:
“Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan janganlah tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran” (Al-Maidah : 2)

Nabi –shalallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: 

“Barangsiapa meringankan kesulitan seseorang di dunia, niscaya Allah akan meringankan kesulitannya kelak pada hari kiamat, dan barangsiapa mempermudah urusan seseorang yang sedang terhimpit kesusahan, niscaya Allah akan mempermudah urusannya kelak pada hari kiamat, dan Allah akan senantiasa menolong hambaNya selama dia menolong saudaranya”. (HR. Muslim)

Karena memberi pinjaman merupakan transaksi yang bertujuan untuk memberi uluran tangan kepada orang yang sedang terhimpit kesusahan, dan bukan bertujuan untuk mencari keuntungan, maka islam mengharamkan memancing di air keruh, yaitu dengan mencari keuntungan dari piutang, karena setiap keuntungan dari piutang adalah riba, dan riba diharamkan oleh syariat islam.

Para Ulama telah menegaskan hukum keuntungan yang didapat dari piutang dalam sebuah kaedah yang sangat masyhur dalam ilmu fikih, yaitu:

“Setiap piutang yang mendatangkan kemanfaatan/keuntungan, maka itu adalah riba”

Kaedah ini menegaskan bahwa keuntungan yang dihasilkan dari hutang piutang, baik berupa materi, jasa, atau yang lainnya adalah haram, karena semuanya termasuk riba yang jelas keharamannya.

Perlu dicamkan, keuntungan dari piutang yang diharamkan adalah keuntungan yang terjadi kesepatatan di dalamnya. Jika dari pihak peminjam memberikan tambahan kepada pemberi pinjaman tanpa kesepakatan sebelumnya, maka hal ini tidak mengapa, karena hal tersebut merupakan bentuk pembayaran hutang yang bagus.

Dari penjelasan di atas, bagaimana hukum meminjam uang di bank? Apakah sama antara hukum meminjam uang di bank konvensional dengan bank syariah?

Harus kita tanamkan dalam sanubari kita, bahwa Islam telah memberikan kaedah utama, yaitu selama akadnya adalah hutang-piutang, maka setiap keuntungan atau tambahan yang dipersyaratkan atau disepakati oleh kedua belah pihak adalah riba, dan riba itu diharamkan dalam Islam.

Ketika seseorang melakukan transaksi hutang piutang dengan bank, baik bank syariah ataupun bank konvensional, maka jika hutang piutang itu menghasilkan keuntungan maka keuntungan yang dihasilkan darinya adalah riba. Riba dalam islam diharamkan dalam keadaan apapun dan dalam bentuk apapun. Diharamkan atas pemberi piutang dan juga atas orang yang berhutang darinya dengan memberikan bunga, baik yang berhutang itu adalah orang miskin atau orang kaya. Masing-masing dari keduanya menanggung dosa, bahkan keduanya dilaknati (dikutuk). Dan setiap orang yang ikut membantu keduanya, dari penulisnya, saksinya juga dilaknati.

Jabir -rodiyallahu 'anhu- berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melaknati pemakan riba (rentenir), orang yang memberikan / membayar riba (nasabah), penulisnya (sekretarisnya), dan juga dua orang saksinya. Dan beliau juga bersabda, ‘Mereka itu sama dalam hal dosanya’.” (HR. Muslim).

Islam dengan tegas mengharamkan riba, Allah berfirman:

“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabb-nya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan riba dan melipat-gandakan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang senantiasa berbuat kekafiran / ingkar, dan selalu berbuat dosa.” (QS. Al-Baqarah: 275-276).

Jika seseorang beralasan bahwa dirinya tidak ikut memakan riba, maka ingatlah firman Allah:

Dan janganlah kalian tolong menolong dalam dosa dan pelanggaran” (QS. Al Maidah: 2 )

Ayat ini dengan tegas melarang tolong menolong dalam dosa dan pelanggaran, dan orang yang meminjam uang ke bank berarti dia telah menolong pihak pemberi hutang untuk memakan riba.

Mungkin, seseorang akan berkata, ketika kita meminjam uang di bank syariah, maka kita sebenarnya tidak melakukan transaksi hutang piutang, namun kita melakukan transaksi mudhorobah atau bagi hasil.

Maka kita katakan kepadanya, transaksi apa yang kamu lakukan, jika memang transaksi yang dilakukan adalah transaksi bagi hasil, maka tidak mengapa, jika ternyata pada hakikatnya yang dia lakukan adalah transaksi hutang piutang maka setiap keuntungan yang dihasilkan dari piutang adalah riba.

Untuk membedakan antara transaksi hutang piutang atau transaksi bagi hasil saat bisa kita cermati dengan dua hal di bawah ini, yaitu:

1.                               Jika bank yang mendatangkan barang, maka itu adalah perniagaan biasa, akan tetapi bila  nasabah yang mendatangkan barang, maka itu berarti akad hutang piutang.

2.      Bila bank tidak bersedia bertanggung jawab atas setiap komplain terhadap barang yang nasabah peroleh melalui akad itu (ketika terdapat kerusakan ataupun cacat pada barang), maka akad yang terjadi adalah hutang-piutang. Akan tetapi bila bank bertanggung jawab atas kerusakan pada barang yang  nasabah dapatkan melalui akad itu, berarti akad itu adalah akad perniagaan biasa dan insya Allah halal.

            Dua kaedah ini berlaku pada bank konvensional dan bank syariah. Maka, boleh tidaknya meminjam uang di bank, baik bank konvensional maupun syariah adalah bentuk transaksi yang dilakukan nasabah dengan bank, namun, mayoritas bank melakukan transaki hutang piutang, bukan bagi hasil. Wallahu a'lam.
by : Abu Rufaid Agus Suseno, Lc










IKHLAS BERIBADAH

Semua orang ingin ibadahnya diterima dan berpahala, akan tetapi ibadah tidak sah dan tidak diterima jika tidak berpondasikan keikhlasan ...