Cari Blog Ini

Senin, 28 Mei 2012

Surat Terbuka Untuk Suami Istri (1)

Kebahagiaan rumah tangga memiliki kunci-kunci untuk membukanya …
Sebagian kunci di tangan suami ….
Dan sebagian lain di tangan istri …
Wahai suami …
Wahai istri …
Agar kalian berdua menggapai kebahagiaan, kalian hanya diuntut untuk mencermati dengan seksama dan lebih mendalam lagi hakikat diri kalian masing-masing …
Kalian berdua hanya dituntut untuk memperhatikan hari-harimu yang kalian lalui, niscaya kalian berdua akan menemukan kunci-kunci tersebut … yaitu kunci-kunci yang akan mewujudkan kebahagiaan berumah tangga yang selama ini hilang !!

Wahai suami istri …  Luruskan cara pandang kalian tentang pernikahan

Wahai sang suami …
Wahai sang istri …

Adakah salah seorang di antara kalian pernah berbisik kepada dirinya sendiri:
Aku lebih bahagia saat aku masih bujang daripada keadaanku sekarang!”

Apa pendapatmu? 

Kira-kira motif apa yang mendorong mereka menyatakan pernyataan di atas?
Apa itu arti pernikahan menurutmu?
Apa yang kamu inginkan dari istrimu wahai suami?
Dan apa pula yang kamu inginkan dari suamimu wahai istri?

Kebanyakan para suami maupun istri, mereka semuanya ketika menapaki kehidupan berumah tangga, mereka mengharapkan kehidupan berumah tangga yang ideal dan harmonis.

Sang suami selalu menginginkan istrinya cantik, jika dia pulang ke rumah dia ingin segala sesuatu sesuai keinginannya, dia ingin rumah bersih, makanan telah siap tersaji, anak-anak tenang …, apabila dia sakit atau tertimpa musibah dia menginginkan istrinya seperti ibunya, dia ingin istrinya merawatnya, melayaninya dengan penuh kelemahlembutan dan keramahtamahan. 

Aku tidak berlebihan apabila aku katakan, bahwa kebanyakan suami mengharapkan istri mereka seperti ibu mereka dalam memberikan curahan perhatian, dalam memberikan pelayanan dengan penuh kelemahlembutan, dan bersabar atas segala perbuatan yang dia lakukan.

Seorang isri tidak mungkin –sebaik apapun- seperti ibu yang sayang anaknya. Penyebabnya adalah perkara sepele, yaitu seorang ibu ketika memberikan curahan perhatian, dia berikan perhatian karena dorongan fitrah sebagai seorang ibu. Adapun seorang istri, maka dia menginginkan apa yang dinginkan oleh suaminya, seorang istri saat memberikan perhatian kepada suaminya, pada hakikatnya dia mengungkapkan sebuah permintaan dari suami dan mengharapkan balasan darinya.

Kesimpulannya, tipe suami seperti ini, selalu menginginkan istrinya “seperti dia inginkan”, padahal dia tidak mungkin mendapatkan istri seperti itu. Karena seorang istri memiliki hak-hak yang harus dipenuhi dan memiliki kewajiban yang harus dia laksanakan, istri memiliki kelebihan yang kamu kagumi dan memiliki kekurangan yang kamu benci, dan kamu wahai suami yang menginginkan istrinya “seperti yang dia inginkan” tidak mungkin bisa menerima kenyataan ini.

Oleh karena itu, Rasulullah r menasihati para suami melalui sabdanya:
لاَ يَفْرِكُ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا خُلُقًا أَخَرَ
Janganlah seorang (suami) mukmin membenci (istrinya) mukminah, jika dia membenci salah satu perangai istrinya, pasti dia suka terhadap perangai yang lain”. (HR. Muslim)

Di pihak lain, kebanyakan para istri juga mengharapkan suaminya menjadi “seperti yang dia inginkan”. Tipe istri seperti ini mengharapkan suaminya seperti yang dia gambarkan dalam khayalannya, istri tipe seperti ini minimalnya menginginkan suaminya memiliki sifat-sifat mulia yang dimiliki ayahnya. Jika dia merasa suaminya memiliki kekurangan, maka seakan-akan dia telah gagal memilih pasangan. Dia menginginkan suami ideal, padahal pada saat yang bersamaan, kondisi mereka berdua tidak bersahabat.

Uraian di atas bukan berarti seruan kepada para suami atau istri untuk meninggalkan kewajiban mereka … sama sekali bukan itu yang aku maksudkan. Akan tetapi, masing-masing pihak harus berusaha semampunya untuk melaksanakan kewajiban masing-masing sebagaimana mestinya. 

Apabila suami memiliki kekurangan dalam melaksanakan kewajiban, maka sang istri tidak boleh mencelanya, dia harus bisa memahami bahwa kewajiban-kewajiban suaminya begitu banyak, dia juga harus bisa memahami bahwa suaminya sekarang ini tidak mungkin bisa menjadi suami yang sempurna sebagaimana yang dia idam-idamkan dalam khayalannya.

Hendaklah masing-masing dari kita intropeksi diri dan meluruskan cara pandang pernikahan yang salah yang telah terpatri di kepala.  Hendaklah setiap diri kita lebih objektif dalam bersikap dan meninggalkan khayalan. Hendaklah masing-masing pihak, baik suami maupun istri mengetahui, bahwa kebahagiaan dalam berumah tangga itu lebih dipengaruhi oleh dirinya sendiri daripada pasangannya.

Wahai sang istri … ingatlah kebaikan-kebaikan suamimu apabila dia suatu kali berbuat buruk kepadamu.  Jangan biarkan kesalahan-kesalahan suami menghapuskan semua kebaikan yang selama ini dicurahkan kepadamu. Ketahuilah, sesungguhnya Allah menjadikan kebaikan-kebaikan itu untuk menghapus kesalahan-kesalahan dan tidak sebaliknya.

Penyakit yang sering menginggapi kebanyakan para istri adalah gampang melupakan kebaikan-kebaikan suami ketika ada sesuatu hal dari suami yang tidak dia senangi. Oleh karena itu, Rasulullah r telah memperingatkan para istri dari hal ini, beliau r bersabda:

اطَّلَعْتُ فِي النَّارِ فَإِذاَ أَكْثَرَ أَهْلِهَا النِّسَاءُ ... يَكْفُرْنَ اْلعَشِيْرَ لَوْ أَحْسَنْتَ إِلَى إِحْدَاهُنَّ الدَّهْرَ ثُمَّ رَأَتْ مِنْكَ شَيْئاً قَالَتْ مَا رَأَيْتُ مِنْكَ خَيْرًا قَطٌ

Aku melihat neraka, ternyata kebanyakan penduduknya adalah wanita, mereka mudah sekali mengingkari kebaikan-kebaikan suaminya, jikalau kamu -wahai suami- berbuat baik kepadanya sepangjang tahun, kemudian dia melihatmu berbuat salah, niscaya dia akan berkata: Aku tidak pernah mendapatkan kebaikan darimu sama sekali

Jadi, langkah pertama untuk menggapai kebahagiaan adalah menghilangkan terlebih dahulu pola pikir mencari kesempurnaan pasangan dari sebuah pernikahan, kemudian kita menimbang kebaikan dan kesalahan-kesalahan, jangan biarkan kesalahan-kesalahan melupakan diri kita dari kebaikan-kebaikan lainnya.

Hakikat kekurangan dalam berumah tangga

Hakikat pernikahan adalah sebuah ikatan kerja sama, menerima dan memberi, ada hak-hak dan kewajiban-kewajiban. Orang yang menapaki pernikahan dengan tujuan mencari ganti kekurangan yang dia rasakan pada dirinya, maka dia tidak akan mendapatkannya, bahkan terkadang dia merasa lelah dan bosan dalam menjalani kehidupan berumah tangga nantinya.

Misalnya, seseorang yang menikah karena ingin bisa memerintah, melarang, dan menjadi pemimpin yang memiliki wewenang penuh, sesungguhnya hal ini didorong oleh keinginan dia untuk mencari solusi, karena ketika sebelum menikah, dia tidak memiliki kepercayaan diri, sehingga dia ingin menunjukkan kepercayaan dirinya kepada istrinya yang lemah dan patut dikasihani. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika kamu dapatkan dia mudah marah dan emosi hanya karena perkara sepele, dia ingin memegang segala wewenang di rumah tangga meskipun hanya perkara sepele.

Pernikahan itu membutuhkan dua pasangan yang ada kecocokan, dua pasangan yang telah matang pemikirannya, bukan pasangan yang bermental anak kecil, karena pernikahan itu adalah membina keluarga dan sebuah tanggung jawab yang tidak ringan.

Betapa banyak pernikahan yang berakhir dengan kegagalan karena kedua pasangan tidak memiliki tanggung jawab, masing-masing pasangan hanya ingin mencari ganti atas kekurangan yang selama ini dia rasakan sebelum menikah, mereka bermental anak kecil, tidak menghargai beratnya tanggung jawab yang dipikul oleh pundak mereka.

Dalam sebuah hadits disebutkan:

Ketahuilah, setiap diri dari kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawaban atas apa yang dia pimpin, seorang lelaki adalah pemimpin bagi keluarganya dan dia bertanggung jawab atas keluarganya, seorang istri bertanggung jawab atas rumah suaminya dan anak-anaknya, dan dia akan dimintai pertanggung jawaban atas mereka.”

(diterjemahkan oleh Abu Rufaid Agus Suseno, Lc dari buku Miftah Sa'adah Azzaujiyah dengan sedikit perubahan dan disusun ulang)

Tidak ada komentar:

IKHLAS BERIBADAH

Semua orang ingin ibadahnya diterima dan berpahala, akan tetapi ibadah tidak sah dan tidak diterima jika tidak berpondasikan keikhlasan ...