Sebagian
kunci di tangan suami ….
Dan
sebagian lain di tangan istri …
Wahai
suami …
Wahai
istri …
Agar
kalian berdua menggapai kebahagiaan, kalian hanya diuntut untuk mencermati
dengan seksama dan lebih mendalam lagi hakikat diri kalian masing-masing …
Kalian
berdua hanya dituntut untuk memperhatikan hari-harimu yang kalian lalui,
niscaya kalian berdua akan menemukan kunci-kunci tersebut … yaitu kunci-kunci
yang akan mewujudkan kebahagiaan berumah tangga yang selama ini hilang !!
Wahai suami istri
… Luruskan cara pandang kalian tentang pernikahan
Wahai sang suami …
Wahai sang istri …
Adakah salah seorang di antara kalian pernah
berbisik kepada dirinya sendiri:
“Aku lebih bahagia saat aku masih bujang daripada
keadaanku sekarang!”
Apa pendapatmu?
Kira-kira motif apa yang mendorong mereka menyatakan
pernyataan di atas?
Apa itu arti pernikahan menurutmu?
Apa yang kamu inginkan dari istrimu wahai suami?
Dan apa pula yang kamu inginkan dari suamimu wahai
istri?
Kebanyakan para suami maupun istri, mereka semuanya ketika
menapaki kehidupan berumah tangga, mereka mengharapkan kehidupan berumah tangga
yang ideal dan harmonis.
Sang suami selalu menginginkan istrinya cantik, jika
dia pulang ke rumah dia ingin segala sesuatu sesuai keinginannya, dia ingin
rumah bersih, makanan telah siap tersaji, anak-anak tenang …, apabila dia sakit
atau tertimpa musibah dia menginginkan istrinya seperti ibunya, dia ingin
istrinya merawatnya, melayaninya dengan penuh kelemahlembutan dan
keramahtamahan.
Aku tidak berlebihan apabila aku katakan, bahwa
kebanyakan suami mengharapkan istri mereka seperti ibu mereka dalam memberikan
curahan perhatian, dalam memberikan pelayanan dengan penuh kelemahlembutan, dan
bersabar atas segala perbuatan yang dia lakukan.
Seorang isri tidak mungkin –sebaik apapun- seperti
ibu yang sayang anaknya. Penyebabnya adalah perkara sepele, yaitu seorang ibu
ketika memberikan curahan perhatian, dia berikan perhatian karena dorongan
fitrah sebagai seorang ibu. Adapun seorang istri, maka dia menginginkan apa
yang dinginkan oleh suaminya, seorang istri saat memberikan perhatian kepada
suaminya, pada hakikatnya dia mengungkapkan sebuah permintaan dari suami dan mengharapkan
balasan darinya.
Kesimpulannya, tipe suami seperti ini, selalu
menginginkan istrinya “seperti dia inginkan”, padahal dia tidak mungkin
mendapatkan istri seperti itu. Karena seorang istri memiliki hak-hak yang harus
dipenuhi dan memiliki kewajiban yang harus dia laksanakan, istri memiliki
kelebihan yang kamu kagumi dan memiliki kekurangan yang kamu benci, dan kamu
wahai suami yang menginginkan istrinya “seperti yang dia inginkan” tidak
mungkin bisa menerima kenyataan ini.
Oleh karena itu, Rasulullah r menasihati para suami melalui sabdanya:
لاَ يَفْرِكُ
مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا خُلُقًا أَخَرَ
“Janganlah
seorang (suami) mukmin membenci (istrinya) mukminah, jika dia membenci salah
satu perangai istrinya, pasti dia suka terhadap perangai yang lain”. (HR.
Muslim)
Di pihak lain, kebanyakan para istri juga
mengharapkan suaminya menjadi “seperti yang dia inginkan”. Tipe istri seperti
ini mengharapkan suaminya seperti yang dia gambarkan dalam khayalannya, istri
tipe seperti ini minimalnya menginginkan suaminya memiliki sifat-sifat mulia
yang dimiliki ayahnya. Jika dia merasa suaminya memiliki kekurangan, maka
seakan-akan dia telah gagal memilih pasangan. Dia menginginkan suami ideal,
padahal pada saat yang bersamaan, kondisi mereka berdua tidak bersahabat.
Uraian di atas bukan berarti seruan kepada para
suami atau istri untuk meninggalkan kewajiban mereka … sama sekali bukan itu
yang aku maksudkan. Akan tetapi, masing-masing pihak harus berusaha semampunya
untuk melaksanakan kewajiban masing-masing sebagaimana mestinya.
Apabila suami memiliki kekurangan dalam melaksanakan
kewajiban, maka sang istri tidak boleh mencelanya, dia harus bisa memahami
bahwa kewajiban-kewajiban suaminya begitu banyak, dia juga harus bisa memahami
bahwa suaminya sekarang ini tidak mungkin bisa menjadi suami yang sempurna
sebagaimana yang dia idam-idamkan dalam khayalannya.
Hendaklah masing-masing dari kita intropeksi diri
dan meluruskan cara pandang pernikahan yang salah yang telah terpatri di
kepala. Hendaklah setiap diri kita lebih
objektif dalam bersikap dan meninggalkan khayalan. Hendaklah masing-masing
pihak, baik suami maupun istri mengetahui, bahwa kebahagiaan dalam berumah tangga
itu lebih dipengaruhi oleh dirinya sendiri daripada pasangannya.
Wahai sang istri … ingatlah kebaikan-kebaikan
suamimu apabila dia suatu kali berbuat buruk kepadamu. Jangan biarkan kesalahan-kesalahan suami
menghapuskan semua kebaikan yang selama ini dicurahkan kepadamu. Ketahuilah,
sesungguhnya Allah menjadikan kebaikan-kebaikan itu untuk menghapus
kesalahan-kesalahan dan tidak sebaliknya.
Penyakit yang sering menginggapi kebanyakan para
istri adalah gampang melupakan kebaikan-kebaikan suami ketika ada sesuatu hal
dari suami yang tidak dia senangi. Oleh karena itu, Rasulullah r telah memperingatkan para istri dari hal ini,
beliau r bersabda:
اطَّلَعْتُ فِي
النَّارِ فَإِذاَ أَكْثَرَ أَهْلِهَا النِّسَاءُ ... يَكْفُرْنَ اْلعَشِيْرَ لَوْ
أَحْسَنْتَ إِلَى إِحْدَاهُنَّ الدَّهْرَ ثُمَّ رَأَتْ مِنْكَ شَيْئاً قَالَتْ مَا
رَأَيْتُ مِنْكَ خَيْرًا قَطٌ
“Aku melihat
neraka, ternyata kebanyakan penduduknya adalah wanita, mereka mudah sekali mengingkari
kebaikan-kebaikan suaminya, jikalau kamu -wahai suami- berbuat baik kepadanya
sepangjang tahun, kemudian dia melihatmu berbuat salah, niscaya dia akan
berkata: Aku tidak pernah mendapatkan kebaikan darimu sama sekali”
Jadi, langkah pertama untuk menggapai kebahagiaan
adalah menghilangkan terlebih dahulu pola pikir mencari kesempurnaan pasangan
dari sebuah pernikahan, kemudian kita menimbang kebaikan dan
kesalahan-kesalahan, jangan biarkan kesalahan-kesalahan melupakan diri kita
dari kebaikan-kebaikan lainnya.
Hakikat kekurangan dalam berumah tangga
Hakikat pernikahan adalah sebuah ikatan kerja sama,
menerima dan memberi, ada hak-hak dan kewajiban-kewajiban. Orang yang menapaki
pernikahan dengan tujuan mencari ganti kekurangan yang dia rasakan pada
dirinya, maka dia tidak akan mendapatkannya, bahkan terkadang dia merasa lelah
dan bosan dalam menjalani kehidupan berumah tangga nantinya.
Misalnya, seseorang yang menikah karena ingin bisa
memerintah, melarang, dan menjadi pemimpin yang memiliki wewenang penuh, sesungguhnya
hal ini didorong oleh keinginan dia untuk mencari solusi, karena ketika sebelum
menikah, dia tidak memiliki kepercayaan diri, sehingga dia ingin menunjukkan
kepercayaan dirinya kepada istrinya yang lemah dan patut dikasihani. Oleh
karena itu, tidak mengherankan jika kamu dapatkan dia mudah marah dan emosi
hanya karena perkara sepele, dia ingin memegang segala wewenang di rumah tangga
meskipun hanya perkara sepele.
Pernikahan itu membutuhkan dua pasangan yang ada
kecocokan, dua pasangan yang telah matang pemikirannya, bukan pasangan yang
bermental anak kecil, karena pernikahan itu adalah membina keluarga dan sebuah
tanggung jawab yang tidak ringan.
Betapa banyak pernikahan yang berakhir dengan
kegagalan karena kedua pasangan tidak memiliki tanggung jawab, masing-masing
pasangan hanya ingin mencari ganti atas kekurangan yang selama ini dia rasakan
sebelum menikah, mereka bermental anak kecil, tidak menghargai beratnya
tanggung jawab yang dipikul oleh pundak mereka.
Dalam sebuah hadits disebutkan:
“Ketahuilah, setiap diri dari kalian adalah
pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawaban atas apa yang dia pimpin,
seorang lelaki adalah pemimpin bagi keluarganya dan dia bertanggung jawab atas
keluarganya, seorang istri bertanggung jawab atas rumah suaminya dan
anak-anaknya, dan dia akan dimintai pertanggung jawaban atas mereka.”
(diterjemahkan oleh Abu Rufaid Agus Suseno, Lc dari buku Miftah Sa'adah Azzaujiyah dengan sedikit perubahan dan disusun ulang)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar