Cari Blog Ini

Senin, 18 Juni 2012

Adab-adab Menuntut Ilmu

Terkadang seseorang menghabiskan separuh umurnya atau bahkan semua umurnya terus berkecimpung dengan ilmu, dari belajar di pesantren, mengikuti pengajian-pengajian rutin, bahkan sampai merantau ke negeri seberang. Namun, betapa banyak di antara mereka yang berkeluh kesah karena belum ada secuil ilmupun yang mereka dapatkan!. Adakah yang salah di balik itu semua?!

Jika kita cermati, niscaya kita dapatkan, bahwa di antara sebab yang menghalangi seseorang untuk mendapatkan ilmu adalah tidak adanya perhatian dari para penuntut ilmu terhadap adab-adab menuntut ilmu. Sedangkan berhias diri dengan adab-adab menuntut ilmu akan mempermudah para penuntut ilmu dalam menuntut ilmu dan akan membimbing mereka dalam memilih dan memilah mana ilmu yang lebih penting dari yang penting. 

Mempelajari adab-adab menuntut ilmu sangat penting sekali bagi para penuntut ilmu sebelum mulai melangkah untuk menuntut ilmu. Oleh karena itu, sangat masyhur dan sangat banyak sekali wasiat dari para ulama tentang pentingnya mempelajari adab-adab ini.

Imam Malik Rahimahullah pernah berkata kepada seorang pemuda dari keturunan Quraisy; “Wahai anak saudaraku, pelajarilah adab tersebut sebelum kamu memulai belajar ilmu.  {Al-Hilyah oleh Abi Nu’aim (6/330)}

Berkata Yusuf bin al Husein Rahimahullah: “Dengan adab, ilmu bisa dipahami.” {Iqtidho’ul Ilmi wal Amali oleh Khatib al Baghdadiy, hal: 170}

Berkata Abu Abdillah al-Balhi Rahimahullah, “Adab-adab ilmu lebih banyak daripada ilmu itu sendiri” { Al Adabu Asy Syar'iyyah (3/552)}

Syeikh Bakar Abu Zaid Rahimahullah berkata, “Ketahuilah, ilmu adalah mutiara di mahkota syariat yang paling berharga, tidak ada seorangpun yang bisa meraih ilmu tersebut kecuali yang berhias dengan adab-adabnya dan menjauhkan dirinya dari penyakit-penyakit ilmu” {Syarh Hilyatul Thalibil Ilmi: 10

Ini semua menunjukkan kepada kita, bahwa berhias dengan adab itu sangatlah penting bagi orang yang ingin menuntut ilmu.

Adab-adab menuntut ilmu

Berikut ini penulis sebutkan beberapa adab yang harus dimiliki oleh seorang penuntut ilmu sebelum melangkah untuk menuntut ilmu, saat menuntut ilmu, dan setelah mendapatkan ilmu.

Pertama: Adab-adab bagi penuntut ilmu sebelum mulai melangkah menuntut ilmu

1.     Menanam keikhlasan dalam hati

Menuntut ilmu adalah ibadah, bahkan termasuk ibadah yang paling agung lagi utama, dan ibadah tidak mungkin terealisasi kecuali dengan mengikhlaskan niat. Oleh karenanya, seseorang yang ingin menimba ilmu, harus berniat untuk merealisasikan perintah Allah Subkhanahu wa Ta'ala, menjaga atau melindungi syariat-Nya, dan untuk mengikuti syariat Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wa Salam. {Lihat syarh hilyatu thalibil ilmi hal: 14}
Allah Subkhanahu wa Ta'ala berfirman:
"Dan mereka tidak diperintahkan kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam menjalankan agama dengan lurus” {Surat Al Bayyinah: 5 }
Syeikh Bakar Abu Zaid Rahimahullah berkata, “Apabila dalam menuntut ilmu kehilangan keikhlasan, maka menuntut ilmu akan berubah menjadi amalan yang paling hina dan tidak ada yang bisa menghanguskan pahala dari menuntut ilmu melainkan riya', baik riya yang sampai ke derajat kesyirikan maupun riya yang mengurangi kesempurnaan keikhlasan seperti suka pamer dengan mengatakan aku telah mengetahuinya, aku telah hafal” {Syarh hilyah Thalibil ilmu, hal: 13 }
Al Hafidz Adz Dzahabi Rahimahullah berkata, “Menuntut ilmu -yang pada asalnya hukumnya wajib atau sunnah- terkadang bisa menjadi amalan yang tercela bagi seseorang, yaitu bagi seseorang yang menuntut ilmu untuk mengajak debat para ahli ilmu, mempermainkan orang-orang bodoh, ingin menjadi pusat perhatian, ingin diagungkan dan dihormati, mengharapkan kedudukan, harta dan martabat di dunia. Mereka termasuk orang-orang yang akan dinyalakan api neraka baginya' {Thalabul ilmi wa aqsamuhu, hal: 210}

2.     Berhias dengan ketakwaan

Takwa adalah kunci ilmu, itulah ungkapan yang tepat untuk menjelaskan kedudukan takwa dengan ilmu. Karena dengan ketakwaan, niscaya seseorang akan dipermudah untuk mendapatkan ilmu.

Ibnu Mas'ud Radliallahu 'anhu berkata, “Aku berpendapat, seseorang itu bisa lupa akan ilmunya yang pernah dia ketahui karena kesalahan yang dia perbuat” {Az Zuhd: 329

Waki' Rahimahullah berkata, “Tinggalkanlah kemaksiatan untuk memperkuat hafalan” {Roudhotul uqala': hal 29

Imam Malik Rahimahullah berkata kepada Imam Syafi'i Rahimahullah saat bertemu pertama kalinya, “Aku melihat Allah telah memberikan cahaya pada hatimu,maka janganlah kamu padamkan dengan kemaksiatan”{ A'lamul Muwaqi'in 4/258

3.     Tekad bulat untuk menuntut ilmu

Tidak ada sesuatu yang bisa diraih ketika tidak dibarengi dengan usaha untuk meraihnya, dan tidak ada usaha untuk meraihnya ketika tidak didukung oleh tekad yang bulat dan motivasi yang sempurna. Oleh karenanya, Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wa Salam berlindung dari kelemahan dan kemalasan, dan kemalasan adalah penghalang dari semua kebaikan. 

Syeikh Abdurrahman As Sa'di Rahimahullah berkata, “Tekad yang bulat dan keteguhan hati adalah sebab utama untuk meraih cita dan harapan yang beranekaragam” {Dinukil dari An Nubadz fi adabi thalabil ilmi, hal: 16}

Syeikh Bakar Abu Zaid Rahimahullah berkata, “Tekad yang bulat mendatangkan bagimu -dengan izin Allah- kebaikan yang tak terbatas, dan membawamu menuju tingkatan yang lebih sempurna” {Syarh Hilayu Thalibil ilmi, 107}

Kedua: Adab-adab bagi penuntut ilmu saat menuntut ilmu

1.     Belajar dari guru langsung

Belajar dari guru secara langsung memiliki manfaat yang begitu besar lagi banyak, di antaranya, menyingkat waktu belajar, lebih mudah untuk mengkokohkan ilmu, menghindari kesalahan pemahaman, melatih untuk lebih, dan manfaat-manfaat lainnya.{ Lihat syarh thalibil ilmi hal 74 dan an nubadz fi thalabil ilmi hal 18-20

Oleh karenanya, kita dapatkan banyak sekali perkataan para ulama yang menegaskan pentingnya belajar dari guru langsung, di antaranya: 

Sulaiman bin Musa Rahimahullah berkata: Ilmu tidak diambil dari buku” {At Tamhid 1/42}

Syeikh Bakar Abu Zaid Rahimahullah berkata, “Metode utama dalam menuntut ilmu adalah menimba ilmu dengan cara talqin dan talaqqi langsung dari para asatidzah dan masyayikh, dengan mendengar langsung dari guru dan bukan melalui lembaran-lembaran kertas maupun buku...” {Syarh thalibil ilmi 74

Kemudian beliau menyebutkan: “Barangsiapa menimba ilmu tanpa guru, sungguh dia akan keluar tanpa ilmu”

Namun, ketika seseorang ingin belajar dari guru langsung, tentunya dia harus memilih guru yang dia akan menimba ilmu darinya. Dia harus memilih guru yang memang akan mengajarkan ilmu kepadanya dengan benar. Para Ulama telah menegaskan pentingnya memilih guru, di antara lain:

Imam Malik Rahimahullah berkata, “Ilmu tidak bisa diperoleh dari empat orang, dan bisa diambil dari selain empat orang tersebut, yaitu Ilmu tidak bisa diperoleh dari orang bodoh, dari ahli bid'ah yang menyebarkan bid'ahnya, dari orang-orang pendusta yang berdusta saat berbicara kepada orang lain meskipun dia tidak tertuduh memalsu hadits Nabi Shalallahu 'alaihi wa Salam, dan tidak pula dari seorang syeikh yang telah berumur, solih, ahli ibadah apabila tidak memahami apa yang dia katakan.” {At Tamhiid oleh Ibnu Abdil Barr 1/66}

2.     Fokus dalam menuntut ilmu

Ketika seseorang ingin menimba ilmu syar'i, maka dia harus benar-benar memberikan konsentrasinya untuk belajar, jika hanya belajar di waktu-waktu senggang maka dia akan mendapatkan ilmu sesuai waktu yang dia berikan.

Lihatlah Malik bin Al Huwairits Radliallahu 'anhu berkonsentrasi penuh untuk belajar ilmu agama di rumah Rasulullah saw. Beliau berkata, “Aku mendatangi Nabi Muhammad saw bersama sekelompok orang dari kaumku, kemudian kami tinggal selama dua puluh hari di rumah beliau, beliau saw adalah orang yang penyayang dan lembut, setelah beliau merasakan kerinduan kami dengan keluarga kami, maka beliau Shalallahu 'alaihi wa Salam, berkata, “Pulanglah, tinggallah bersama mereka lalu ajarilah mereka dan shalatlah kalian bersama mereka... {HR Bukhari: 268}

3.     Mengadakan perjalanan

Mengadakan perjalanan dalam menuntut ilmu merupakan sebuah keniscayaan, tidak ada seorangpun yang tidak membutuhkan perjalanan saat menuntut ilmu.

Al Hafidz Ibnu Rajab Rahimahullah berkata, “Jika seseorang bisa mencukupkan diri belajar dengan tidak merantau, niscaya Nabi Musa 'Alaihi Salam tidak akan merantau untuk menimba ilmu karena Allah Subkhanahu wa Ta'ala telah memberikan kepadanya kitab suci taurat. Namun, setelah Allah memberitahukan kepadanya tentang Nabi Khidr 'Alaihi Salam yang memiliki ilmu yang tidak dimiliki oleh orang lain, maka beliau bertanya tentang cara untuk menemuinya, hingga akhirnya beliau dan pembantunya berjalan mencari Nabi khidr 'Alaihi Salam.”

4.     Bertahap dalam menuntut ilmu

Ilmu itu banyak dan bercabang, tidak mungkin seseorang menguasai cabang-cabangnya sebelum menguasai pokoknya, seperti cabang pohon yang tidak akan kuat menahan daun kecuali memang dahan tersebut kokoh.

Oleh karenanya, seseorang yang ingin menuntut ilmu, harus menguasai hal-hal prinsip terlebih dahulu sebelum mendalami cabang-cabang ilmu, menguasai prinsip-prinsip utama ilmu tidak mungkin terwujud kecuali dengan bertahap dalam menuntut ilmu.

Syeikh Bakar Abu Zaid Rahimahullah berkata, “Barangsiapa tidak menguasai hal-hal prinsip dalam ilmu, niscaya tidak akan sampai kepada tujuannya, dan barangsiapa menuntut ilmu tanpa melalui tahapan-tahapannya, niscaya ilmu yang dia dapatkan akan hilang”. {Syarh tholibil ilmi, hal: 54} 

Saudaraku, setelah kita mendapatkan ilmu, maka termasuk adab-adab bagi penuntut ilmu setelah mendapatkan ilmu adalah mengamalkan ilmu tersebut dan mencurahkan segala daya dan upayanya untuk menjaga ilmu. Wallau A'lam.  . ditulis oleh Abu Rufaid Agus Suseno, Lc

Minggu, 03 Juni 2012

Bolehkah Hutang di Bank?!


Bapak A  ingin membangun rumah, namun dia tidak memiliki uang cukup untuk membeli materialnya, lalu diapun meminjam ke bank untuk membangun rumah. Bapak B ingin memulai usaha yang membutuhkan modal banyak, maka diapun meminjam uang di bank, sedangkan bapak C terkena musibah, anaknya kecelakaan dan dirawat di rumah sakit sehingga membutuhkan biaya yang tinggi, maka dia pun lari ke bank untuk meminjan uang.

Gambaran di atas adalah sekelumit gambaran keadaan seseorang dalam kehidupan di dunia ini, terkadang seseorang dihadang kebutuhan mendadak yang harus segera ditunaikan, namun dia belum memiliki uang. 

Apakah kondisi-kondisi di atas bisa melegalkan seseorang untuk pinjam uang di bank? Dan apakah sebenarnya hukum pinjam uang di bank? Trus, bagaimana jika meminjam uang di bank syariah?

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, maka seyogyanya kita mengenal apa itu hakikat hutang piutang dalam islam.

Hutang piutang dalam agama kita adalah memberikan sesuatu yang menjadi hak milik pemberi pinjaman kepada peminjam dengan pengembalian di kemudian hari sesuai perjanjian dengan jumlah yang sama. Jika peminjam diberi pinjaman Rp. 1.000.000 maka di masa depan si peminjam akan mengembalikan uang sejumlah satu juta juga.

Pada asalnya, hukum hutang piutang adalah sunah bagi pemberi pinjaman, karena memberi pinjaman kepada yang membutuhkan adalah bentuk kelembutan dan kasih sayang kepada orang lain yang tertindih kesulitan, termasuk perbuatan saling tolong menolong antara umat manusia yang sangat dianjurkan oleh Allah SWT selama tolong-menolong dalam kebajikan, bahkan hutang piutang dapat mengurangi kesulitan orang lain yang sedang dirudung masalah serta dapat memperkuat tali persaudaraan kedua belah pihak, karenanya orang yang ingin meminjam dibolehkan, bukan termasuk meminta yang di makruhkan, selama tidak berhutang untuk perkara-perkara yang haram seperti narkoba, berbuat kejahatan, menyewa pelacur, dan lain sebagainya.     

Hukum memberi pinjaman terkadang bisa menjadi wajib, tatkala memberikan pinjaman kepada orang yang sangat membutuhkan seperti tetangga yang anaknya sedang sakit keras dan membutuhkan uang untuk menebus resep obat yang diberikan oleh dokter.

Disyariatkannya hutang piutang berdasarkan firman Allah:
“Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan janganlah tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran” (Al-Maidah : 2)

Nabi –shalallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: 

“Barangsiapa meringankan kesulitan seseorang di dunia, niscaya Allah akan meringankan kesulitannya kelak pada hari kiamat, dan barangsiapa mempermudah urusan seseorang yang sedang terhimpit kesusahan, niscaya Allah akan mempermudah urusannya kelak pada hari kiamat, dan Allah akan senantiasa menolong hambaNya selama dia menolong saudaranya”. (HR. Muslim)

Karena memberi pinjaman merupakan transaksi yang bertujuan untuk memberi uluran tangan kepada orang yang sedang terhimpit kesusahan, dan bukan bertujuan untuk mencari keuntungan, maka islam mengharamkan memancing di air keruh, yaitu dengan mencari keuntungan dari piutang, karena setiap keuntungan dari piutang adalah riba, dan riba diharamkan oleh syariat islam.

Para Ulama telah menegaskan hukum keuntungan yang didapat dari piutang dalam sebuah kaedah yang sangat masyhur dalam ilmu fikih, yaitu:

“Setiap piutang yang mendatangkan kemanfaatan/keuntungan, maka itu adalah riba”

Kaedah ini menegaskan bahwa keuntungan yang dihasilkan dari hutang piutang, baik berupa materi, jasa, atau yang lainnya adalah haram, karena semuanya termasuk riba yang jelas keharamannya.

Perlu dicamkan, keuntungan dari piutang yang diharamkan adalah keuntungan yang terjadi kesepatatan di dalamnya. Jika dari pihak peminjam memberikan tambahan kepada pemberi pinjaman tanpa kesepakatan sebelumnya, maka hal ini tidak mengapa, karena hal tersebut merupakan bentuk pembayaran hutang yang bagus.

Dari penjelasan di atas, bagaimana hukum meminjam uang di bank? Apakah sama antara hukum meminjam uang di bank konvensional dengan bank syariah?

Harus kita tanamkan dalam sanubari kita, bahwa Islam telah memberikan kaedah utama, yaitu selama akadnya adalah hutang-piutang, maka setiap keuntungan atau tambahan yang dipersyaratkan atau disepakati oleh kedua belah pihak adalah riba, dan riba itu diharamkan dalam Islam.

Ketika seseorang melakukan transaksi hutang piutang dengan bank, baik bank syariah ataupun bank konvensional, maka jika hutang piutang itu menghasilkan keuntungan maka keuntungan yang dihasilkan darinya adalah riba. Riba dalam islam diharamkan dalam keadaan apapun dan dalam bentuk apapun. Diharamkan atas pemberi piutang dan juga atas orang yang berhutang darinya dengan memberikan bunga, baik yang berhutang itu adalah orang miskin atau orang kaya. Masing-masing dari keduanya menanggung dosa, bahkan keduanya dilaknati (dikutuk). Dan setiap orang yang ikut membantu keduanya, dari penulisnya, saksinya juga dilaknati.

Jabir -rodiyallahu 'anhu- berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melaknati pemakan riba (rentenir), orang yang memberikan / membayar riba (nasabah), penulisnya (sekretarisnya), dan juga dua orang saksinya. Dan beliau juga bersabda, ‘Mereka itu sama dalam hal dosanya’.” (HR. Muslim).

Islam dengan tegas mengharamkan riba, Allah berfirman:

“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabb-nya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan riba dan melipat-gandakan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang senantiasa berbuat kekafiran / ingkar, dan selalu berbuat dosa.” (QS. Al-Baqarah: 275-276).

Jika seseorang beralasan bahwa dirinya tidak ikut memakan riba, maka ingatlah firman Allah:

Dan janganlah kalian tolong menolong dalam dosa dan pelanggaran” (QS. Al Maidah: 2 )

Ayat ini dengan tegas melarang tolong menolong dalam dosa dan pelanggaran, dan orang yang meminjam uang ke bank berarti dia telah menolong pihak pemberi hutang untuk memakan riba.

Mungkin, seseorang akan berkata, ketika kita meminjam uang di bank syariah, maka kita sebenarnya tidak melakukan transaksi hutang piutang, namun kita melakukan transaksi mudhorobah atau bagi hasil.

Maka kita katakan kepadanya, transaksi apa yang kamu lakukan, jika memang transaksi yang dilakukan adalah transaksi bagi hasil, maka tidak mengapa, jika ternyata pada hakikatnya yang dia lakukan adalah transaksi hutang piutang maka setiap keuntungan yang dihasilkan dari piutang adalah riba.

Untuk membedakan antara transaksi hutang piutang atau transaksi bagi hasil saat bisa kita cermati dengan dua hal di bawah ini, yaitu:

1.                               Jika bank yang mendatangkan barang, maka itu adalah perniagaan biasa, akan tetapi bila  nasabah yang mendatangkan barang, maka itu berarti akad hutang piutang.

2.      Bila bank tidak bersedia bertanggung jawab atas setiap komplain terhadap barang yang nasabah peroleh melalui akad itu (ketika terdapat kerusakan ataupun cacat pada barang), maka akad yang terjadi adalah hutang-piutang. Akan tetapi bila bank bertanggung jawab atas kerusakan pada barang yang  nasabah dapatkan melalui akad itu, berarti akad itu adalah akad perniagaan biasa dan insya Allah halal.

            Dua kaedah ini berlaku pada bank konvensional dan bank syariah. Maka, boleh tidaknya meminjam uang di bank, baik bank konvensional maupun syariah adalah bentuk transaksi yang dilakukan nasabah dengan bank, namun, mayoritas bank melakukan transaki hutang piutang, bukan bagi hasil. Wallahu a'lam.
by : Abu Rufaid Agus Suseno, Lc










Bolehkah Minta Doa dari Orang Lain?


Ya akhi…tolong doakan saya ya…doain saya moga sukses…” kata seorang ikhwan yang ingin mengikuti ujian kepada temannya. Ada pula seseorang yang mengatakan kepada temannya, “Wahai saudaraku … doain ya … moga kampung kita senantiasa diberkahi oleh Allah”.


Penggalan cerita di atas adalah fenomena yang sekarang ini banyak kita dapatkan di sekeliling kita. Seringkali seseorang meminta dari temannya untuk mendoakan kemaslahatan bagi dirinya atau bagi semua orang secara umum. Hal ini sebenarnya sebuah kewajaran, karena seseorang itu memiliki banyak kebutuhan, baik kebutuhan jasmani yang harus dia penuhi untuk melangsungkan hidupnya atau menyempurnakan hidupnya di dunia ini, atau kebutuhan yang bersifat rohani seperti ibadah yang di antaranya adalah berdoa kepada Allah. 

Namun, terkadang seseorang berlebihan dalam meminta doa dari orang lain, sehingga dia merendahkan dirinya sendiri, menganggap dirinya banyak berlumuran dosa sehingga tidak berani berdoa secara langsung kepada Allah, sehingga mendorong mereka untuk meminta temanya atau gurunya agar mendoakan kemaslahatan bagi dirinya yang menyebabkan dirinya bergantung kepada selain Allah, hingga hampir-hampir dia tidak pernah mendoakan dirinya sendiri atau malah menjadikan orang yang dimintai doa sombong dan takabur karena telah dipercaya oleh orang banyak untuk memberikan doa.

Oleh karenanya, sudah seyogyanya kita melihat fenomena ini dari kacamata hukum islam. Bagaimana islam memandang meminta doa dari orang lain. Apakah meminta doa dari orang lain itu disyariatkan? Apakah islam membolehkannya atau tidak?

Syeikh Solih Ali Syeikh menyatakan, “Pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini (meminta doa dari orang lain) bahwa amalan ini tidak disyariatkan, artinya tidak diwajibkan, tidak pula disunnahkan”. (As’ilah wal fawaid, maktabah syamilah)

Lalu, apakah boleh meminta doa dari orang lain?

Beliau –syeikh Solih Ali Syeikh- menyatakan, “Hukum asal meminta doa dari orang lain adalah makruh, sebagaimana riwayat dari para sahabat dan tabi’in yang membenci perbuatan ini, bahkan melarang orang yang meminta doa dari mereka.

Mungkin di antara kita ada yang bertanya, “Mengapa dimakruhkan?, bukankah banyak sekali riwayat yang menunjukkan bolehnya meminta doa dari orang lain, bahkan Nabi r sendiri pun meminta doa dari orang lain?”

Memang benar ada beberapa hadits shohih, yang dhohirnya menunjukkan bolehnya meminta doa dari orang lain, sebagai contoh adalah hadits-hadits di bawah ini:

a.       Umar meminta izin kepada Nabi r untuk menunaikan umrah, maka Rasulullah r berkata, “Wahai saudaraku, sertakanlah kami dalam doa-doamu dan jangan lupakan kami”. (HR. Ahmad dan Tirmizi). Dalam hadits ini, secara jelas menunjukkan bolehnya meminta doa dari orang lain, bahkan sekalipun dari orang yang lebih tinggi kedudukannya ke yang lebih rendah kedudukannya, sebagaimana nabi r yang kedudukannya lebih tinggi meminta doa dari umar yang lebih rendah kedudukannya.

b.      Dalam hadits Ukasyah bin Muhshon, bahwa Nabi r bersabda, “Ada sekelompok dari umatku sejumlah tujuh puluh ribu yang akan masuk surga dalam keadaan wajah-wajah mereka bersinar terang seperti terangnya sinar bulan purnama”, kemudian Ukasyah berdiri dan berkata, “Wahai Rasulullah, doakan saya agar termasuk dari mereka”. Kemudian Rasulullah r berdoa, “Ya Allah, jadikanlah Ukasyah dari mereka”. (HR. Muttafaqun ‘alaih)

c.       Dalam hadit yang diriwayatkan oleh Muslim dari Sofyan bin Abdullah, beliau berkata, “Saat aku datang ke Syam, maka aku mendatangi Abu Darda’ di rumahnya, namun aku tidak mendapatinya, aku hanya mendapati istrinya, lalu istrinya berkata, “Apakah kamu ingin menunaikan haji tahun ini?”, aku menjawab, “Ya, benar”, kemudian istrinya berkata lagi, “Doakanlah kebaikan bagi kami, karena sesungguhnya Nabi r bersabda, “Doanya seorang mukmin tanpa diketahui oleh orang yang didoakan adalah pasti terkabulkan, di samping kepalanya ada seorang malaikat yang diberi tugas untuk mengawasinya, jika dia berdoa kebaikan bagi saudaranya, maka malaikat akan mengaminkannya dan berkata, “Semoga Allah memberikan semisalnya kepadamu”. 

Tiga hadits di atas, jika dilihat dari dhohirnya, memang menunjukkan bolehnya meminta doa dari orang lain. Terus, mengapa dikatakan makruh????

Syeikh Muhammad bin Solih Al Utsaimin menjelaskan tiga sebab mengapa meminta doa dari orang lain dimakruhkan, yaitu:

a.       Dalam permintaan seseorang kepada saudaranya agar mendoakan dirinya, terdapat bentuk meminta-minta kepada manusia. Sedangkan ketika Rasulullah r dibaiat oleh para sahabatnya, beliau r mengatakan kepada mereka, “Janganlah kalian meminta pada orang lain sedikit pun juga (syai’an)Syai’an (sedikit pun) di sini adalah kata dalam bentuk nakiroh . Dalam kalimat tadi, kata nakiroh tersebut terletak dalam konteks nafi (peniadaan). Sehingga yang dimaksud sedikit pun di situ adalah umum (mencakup segala sesuatu), -termasuk meminta doa kepada orang lain,pen-.”

b.      Orang yang meminta doa dari orang lain, terkadang lahir dalam dirinya sikap memandang rendah dirinya sendiri dan berburuk sangka kepada dirinya hingga dia meminta doa kepada orang lain, padahal Allah berfirman: “Berdoalah kepada RabbMu, dengan merendah diri dan suara lembut” (QS. Al A’raf: 55). Kemudian, sebagian orang jika meminta kepada saudaranya yang terlihat sholeh untuk mendoakan dirinya, maka orang ini terkadang menyandarkan diri pada do’a orang sholeh tadi. Bahkan sampai-sampai dia tidak pernah mendoakan dirinya sendiri (karena keseringannya meminta pada orang lain).

c.       Boleh jadi orang yang dimintakan do’a tadi menjadi terperdaya dengan dirinya sendiri. Orang sholeh ini bisa menganggap bahwa dirinya-lah yang pantas untuk dimintakan doa. (Inilah bahaya yang ditimbulkan dari meminta doa pada orang lain). 

Selain tiga alasan di atas, jika kita lihat keadaan para sahabat dan tabi’in, maka kita dapatkan mereka membenci bahkan melarang orang yang meminta kepadanya untuk didoakan. Diriwayatkan dari Hudzaifah dan Mu’adz, mereka berkata kepada orang yang meminta doa darinya sebagai wujud pengingkaran, “Apakah kami itu nabi”.

Demikian pula Imam Anas bin Malik, beliau saat dimintai doa, maka beliau melarangnya untuk meminta doa darinya, beliau khawatir jika orang-orang memandang beliau memiliki kedudukan lebih, beliau khawatir orang-orang yang bergantung kepadanya.

Lalu, kapan meminta doa orang lain itu boleh dan disyariatkan?

Syeikh Islam Ibnu Taimiyah telah menjelaskan dengan gamblang dalam buku beliau “Qoidah jalilah fit tawassul wal wasilah”. Beliau menyatakan, “Apabila seseorang berkata kepada saudaranya “doakanlah saya atau kami”,  kemudian dia mengharapkan agar  saudaranya juga mendapatkan kebaikan dengan berbuat baik padamu atau dia ingin agar saudaranya juga mendapatkan manfaat karena telah mendoakanmu dalam keadaan dirimu tidak mengetahuinya, maka dia telah meneladani Nabi r dalam meminta doa dari orang lain. Namun, apabila dia  hanya menginginkan semata-mata kemanfaatan pada dirinya sendiri saja, maka dia tidak meneladani nabi r dalam meminta doa dari orang lain”. 

Dari penjelasan syeikh Ibnu Taimiyah, bisa kita tarik kesimpulan, bahwa meminta doa dari orang lain itu boleh, ketika seseorang meminta doa orang lain itu berniat agar saudaranya juga mendapatkan manfaat, yaitu manfaat karena diaminkan oleh malaikat dan mendapatkan kebaikan yang semisal atau manfaat yang ditimbulkan oleh umumnya lafadz doa, seperti permintaan seseorang dari orang lain untuk mendoakan kampung mereka diberkahi oleh Allah.

Adapun tiga hadits yang terdahulu, maka diartikan bahwa mereka meminta doa dari orang lain, bukan semata-mata untuk kebaikan dirinya sendiri, akan tetapi, mereka mengharapkan orang lain yang dia minta doa darinya mendapatkan manfaat juga. 

Adapun mengenai kisah Umar bin Khathab –radhiyallahu ‘anhu- yang meminta pada Uwais Al Qorni untuk mendoakan dirinya, maka ini adalah perintah Nabi r. Dan ini adalah khusus untuk Uwais saja bukan yang lainnya. Oleh karena itu, tidak pernah diketahui bahwa sahabat lain meminta pada Umar untuk mendoakan dirinya atau meminta pada Abu Bakar, “Wahai Abu Bakar, berdoalah pada Allah untuk kami.” Padahal Abu Bakar lebih utama daripada Umar dan lebih utama daripada Uwais, bahkan lebih utama dari sahabat lainnya. Jadi permintaan Umar pada Uwais ini hanyalah khusus untuk Uwais. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memotivasi para sahabat, siapa saja yang bertemu Uwais, maka katakanlah padanya, “Wahai Uwais, berdoalah pada Allah untukku.” Kisah Uwais ini hanyalah khusus untuk Uwais saja, tidak boleh digeneralkan pada yang lainnya. Wallahu a’lam.
By : Abu Rufaid Agus Suseno, Lc

Jumat, 01 Juni 2012

Mengenal Jin Lebih Dekat

Bangsa jin adalah kehidupan di alam lain selain alam manusia dan malaikat. Terdapat beberapa titik kesamaan antara jin dan manusia jika dilihat dari keberadaan akal, kehendak, kekuasaan untuk memilih antara jalan yang baik dan buruk, dan mendapatkan beban syariat untuk beribadah kepada Allah semata, Allah berfirman:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ
Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku
Namun, jin berbeda dengan menusia jika ditilik dari asal penciptaan.
Hakikat jin adalah makhluk Allah yang memiliki ruh, berakal, berkehendak, mendapatkan beban syariat seperti manusia, tidak terbentuk dari materi, tertutup dari panca indera kita, tidak bisa terlihat dengan bentuk asli mereka, memiliki kemampuan untuk berubah bentuk, mereka makan, minum dan saling menikah antara satu dengan lainnya, memiliki keturunan dan mereka akan dihisab amalannya kelak pada hari kiamat.[1]
Al Imam As Syaukani berkata, “Mereka (bangsa jin) adalah kaum yang memiliki badan, berakal, tersembunyi, dan sifat api yang mereka miliki lebih dominan”[2]
Tidak mungkin untuk melihat bentuk asli penciptaan jin, Allah berfirman:
يَا بَنِي آدَمَ لا يَفْتِنَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ كَمَا أَخْرَجَ أَبَوَيْكُمْ مِنَ الْجَنَّةِ يَنْزِعُ عَنْهُمَا لِبَاسَهُمَا لِيُرِيَهُمَا سَوْآتِهِمَا إِنَّهُ يَرَاكُمْ هُوَ وَقَبِيلُهُ مِنْ حَيْثُ لا تَرَوْنَهُمْ إِنَّا جَعَلْنَا الشَّيَاطِينَ أَوْلِيَاءَ لِلَّذِينَ لا يُؤْمِنُونَ
Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kalian ditipu oleh syetan, sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapak kalian dari surga, ia menanggalkan pakaian dari dirinya untuk memperlihatkan kepada keduanya 'auratnya. Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dan suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan syetan-syetan itu pemimpin-pemimpim bagi orang-orang yang tidak beriman” ( QS. Al A’raf:27)
Bangsa jin lebih rendah kedudukan dan kemuliaannya daripada manusia.
Syeikh Abu Bakar Al Jazairi berkata, “Sesungguhnya bangsa jin bahkan jin yang soleh diantara mereka lebih rendah kedudukan dan kemuliaannya daripada manusia, karena Allah sang pencipta telah menetapkan dan menegaskan  kemuliaan manusia, sebagaimana firmanNya:
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلا
Dan sesungguhnya Kami telah memuliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan” (QS. Al Isra’:70)
Tidak ada di dalam satu kitab yang Allah turunkan keterangan yang menjelaskan kemuliaan jin, dan tidak pernah pula dijelaskan oleh Rasulullah r, ini semua membuktikan bahwa manusia lebih sempurna dan mulia daripada jin. Bukti yang lain adalah jin merasa lemah dan serba kekurangan ketika berhadapan dengan manusia, buktinya adalah ketika manusia memohon perlindungan kepada jin, maka jin pun takabur dan  merasa tinggi karena permohonan perlindungan oleh manusia kepada jin mengandung pengagungan dan penghormatan kepada mereka, Allah berfirman menceritakan keadaan jin:
وَأَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِنَ الإنْسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍ مِنَ الْجِنِّ فَزَادُوهُمْ رَهَقًا
“Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan”            ( QS Al Jin:6)
Bukti lain bahwa jin itu merasa lemah jika berhadapan dengan manusia, adalah ketika manusia bertawassul dengan mereka, atau dengan tokoh pembesar mereka, atau bersumpah dengan sesepuh mereka, niscaya mereka bersegera memenuhi kebutuhan manusia yang memohon kepadanya, itu semua sebagai bukti bahwa bangsa jin itu merasa lemah apabila berhadapan dengan manusia yang beriman kepada Allah dan RasulNya, manusia yang mentauhidkan Allah, baik di dalam rububiyahNya, asma’ dan sifatNya maupun di dalam memberikan peribadatan. Adapun manusia yang tidak beriman, dan tidak mentauhidkan Allah maka jin beserta tokoh mereka lebih mulia dan utama daripada manusia yang kafir dan melakukan kesyirikan”[3]
Bahkan, orang-orang kafir dan kaum musyrikin lebih hina daripada binatang, Allah berfirman:
إِنْ هُمْ إِلا كَالأنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ سَبِيلا
Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu)” (QS. Al Furqan: 44)
Penamaan Jin Dengan Jin
Bangsa jin disebut jin (tersembunyi) karena mereka tersembunyi dari pandangan manusia, jin bisa melihat manusia namun manusia tidak mampu melihat jin, Allah berfirman, “Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dan suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka”( QS. Al A’raf: 27). Intinya, bahwa jin adalah makhluk yang tidak mampu dilihat bentuk aslinya oleh manusia, namun terkadang manusia melihat keberadaan jin dalam bentuk lain seperti binatang.
Kapan Jin Diciptakan
Jin diciptakan sebelum manusia diciptakan, sebagaimana telah dijelaskan oleh Al Quran yang Allah turunkan, Allah berfirman:
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الإنْسَانَ مِنْ صَلْصَالٍ مِنْ حَمَإٍ مَسْنُونٍ . وَالْجَانَّ خَلَقْنَاهُ مِنْ قَبْلُ مِنْ نَارِ السَّمُومِ
Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia  dari tanah liat kering yang berasal dari lumpur hitam yang diberi bentuk, dan Kami telah menciptakan jin sebelum Adam dari api yang sangat panas”. (QS. Al Hijr:26-27)
Asal Usul Penciptaan Jin
Allah telah menciptakan jin dari api, sebagaimana telah dijelaskan dalam wahyu yang Allah turunkan kepada Nabi Muhammad r, dan senantiasa akan dibaca hingga tegaknya hari kiamat, Allah berfirman:
وَالْجَانَّ خَلَقْنَاهُ مِنْ قَبْلُ مِنْ نَارِ السَّمُومِ
Dan Kami telah menciptakan jin sebelum Adam dari api yang sangat panas” (QS. Al Hijr: 27)
Allah berfirman di dalam ayat lain:
وَخَلَقَ الْجَانَّ مِنْ مَارِجٍ مِنْ نَارٍ
Dan Dia menciptakan jin dari nyala api” ( QS Ar Rahman: 15)
Nabi r bersabda:
خُلِقَتِ الْمَلاَئِكَةُ مِنْ نُورٍ وَخُلِقَ الْجَانُّ مِنْ مَارِجٍ مِنْ نَارٍ وَخُلِقَ آدَمُ مِمَّا وُصِفَ لَكُمْ
Malaikat diciptakan dari cahaya, jin diciptakan dari nyala api, dan bani adam diciptakan dari apa yang telah disebutkan kepada kalian[4]
Golongan-Golongan Jin
Dalam hadits yang shahih, dari Nabi r  beliau r bersabda:
الْجِنُّ ثَلاثَةُ أَصْنَافٍ : صِنْفُ يَطِير فِي الْهَوَاءِ ، وَصِنْفٌ حَيَّاتٌ وَكِلابٌ ، وَصِنْفٌ يَحِلُّونَ وَيَظْعَنُونَ
Jin ada tiga golongan, pertama jin yang terbang di udara, kedua jin yang berbentuk ular dan anjing di darat, ketiga terkadang singgah si sebuah tempat dan saat lain ia pergi ke tempat lain[5]
Jika yang dimaksud adalah laki-laki dari bangsa secara khusus, maka mereka disebut jin, apabila  termasuk yang tinggal berdampingan dengan manusia disebut amir, apabila termasuk yang mengganggu anak kecil disebut arwah, apabila termasuk golongan yang jahat buruk dan kotor disebut syetan, dan apabila lebih dari itu disebut marid, dan apabila termasuk golongan yang mampu memindah bebatuan disebut ifrit.[6]
Ibnu Taimiyah berkata, “Jin mampu menampakkan dirinya dalam rupa manusia dan binatang sehingga mereka menampakkan dirinya dalam bentuk ular, kalajengking, dan lainnya. Mereka juga mampu menampakkan dirinya dalam bentuk unta, sapi, kambing, kuda, bighal, himar, burung, dan bentuk manusia”[7]
Beliau juga berkata, “Jin seringkali menampakkan dirinya dalam bentuk anjing hitam atau kucing hitam, karena warna hitam adalah warna yang seringkali menjadi wana simbolis untuk kejahatan daripada warna lainnya”.[8]
Apakah Jin Terkena Beban Syariat Untuk Mengikuti Syariat Islam 
Agama yang lurus dan benar di sisi Allah adalah agama islam, syariat yang dibawa Nabi Muhammad r adalah syariat yang kekal, syariat penutup untuk syariat-syariat sebelumnya, dan syariat untuk manusia dan jin. Oleh karena itu, jin juga mendapatkan beban syariat layaknya manusia, sehingga bangsa jin ada yang mukmin dan ada yang fasik, Allah berfirman:
]وَأَنَّا مِنَّا الصَّالِحُونَ وَمِنَّا دُونَ ذَلِكَ كُنَّا طَرَائِقَ قِدَدًا[
Dan sesungguhnya di antara kami ada orang-orang yang saleh dan di antara kami ada pula yang tidak demikian halnya, kami menempuh jalan yang berbeda-beda”. (QS. Al Jin: 11)
Allah berfirman di dalam ayat lain:
]هَذِهِ جَهَنَّمُ الَّتِي يُكَذِّبُ بِهَا الْمُجْرِمُونَ. يَطُوفُونَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ حَمِيمٍ آنٍ[
Inilah neraka Jahannam yang didustakan oleh orang-orang berdosa, mereka berkeliling di antaranya dan di antara air mendidih yang memuncak panasnya”. ( QS Ar Rahman: 43-44)
Nabi r telah menyampaikan risalahnya kepada jin dan memberi peringatan kepada mereka dari siksaan Allah yang pedih. Hal ini telah Allah  kabarkan kepada kita di dalam Al Quran:
]وَإِذْ صَرَفْنَا إِلَيْكَ نَفَرًا مِنَ الْجِنِّ يَسْتَمِعُونَ الْقُرْآنَ فَلَمَّا حَضَرُوهُ قَالُوا أَنْصِتُوا فَلَمَّا قُضِيَ وَلَّوْا إِلَى قَوْمِهِمْ مُنْذِرِينَ [
Dan ingatlah, ketika Kami hadapkan serombongan jin kepadamu yang mendengarkan Al Quran, maka tatkala mereka menghadiri pembacaan Al Quran, lalu mereka berkata, "Diamlah kamu untuk mendengarkannya", ketika pembacaan telah selesai, mereka kembali kepada kaumnya untuk memberi peringatan”  (QS Al Ahqaf: 29)
Bahkan, maksud dan tujuan dari penciptaan manusia dan jin adalah untuk merealisasikan ibadah hanya kepada Allah semata, Allah berfirman:
]وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ[
Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku”         ( QS Adz Dzariyat: 56)
Dari penjelasan di atas, kita mengetahui bahwa jin yang mukmin akan masuk surga layaknya seorang mukmin dari manusia, jin yang kafir juga akan masuk neraka layaknya seorang manusia kafir.. Hal ini telah ditunjukkan oleh firman Allah sebutkan di dalam surat Ar Rahman, Allah berfirman:
]وَلِمَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ جَنَّتَانِ[
Dan bagi orang yang takut akan saat menghadap Tuhannya ada dua syurga( untuk jin dan manusia)” (QS. Ar Rahman: 46)
Hal ini juga telah terbukti dari kejadian yang kami alami pada seseorang yang kami bacakan ruqyah kepadanya, kita mendapatkan jin kafir masuk islam dan  ada pula jin  muslim yang fasik, kemudian kami nasihati maka merekapun menaatinya.
Apakah Manusia Menikah Dengan Jin
Ini merupakan permasalahan yang amat pelik, para ulama pun saling berselisih pendapat, diantara mereka ada yang berpendapat bahwa pernikahan manusia dengan jin mungkin terjadi, dan sebagian lain berpendapat bahwa pernikahan manusia dengan jin termasuk perkara mustahil.
Adapun pendapat yang kami pegang adalah pendapat yang menyatakan pernikahan manusia dengan jin merupakan perkara yang sangat jarang terjadi meskipun tidak mustahil akan terjadi. Perkara ini meskipun terjadi, maka hal tersebut terjadi tanpa ada unsur kesengajaan tidak boleh dijadikan alternative. Jika perkara ini tidak kita cegah sejak dini, niscaya akan mengakibatkan kerusakan yang tidak diketahui ujungnya kecuali Allah, maka menutup pintu kerusakan ini termasuk tindakan preventif, dan mengunci pintu kejelekan dan fitnah. Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan.[9]
Syeikh Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Terkadang manusia bisa menikahi jin dan melahirkan anak dari hubungan tersebut, hal ini merupakan perkara yang sering diungkapkan, para ulama pun sering sekali membahas permasalahan ini, dan para ulama membenci pernikahan manusia dengan jin…”[10]
Menetapkan Eksistensi Jin
Telah kami sebutkan di atas, bahwa beriman kepada perkara ghaib yang telah ditetapkan dalam Al Quran dan As Sunnah termasuk dari dasar-dasar aqidah dan landasan pokok pembangun aqidah. Diantara perkara ghaib adalah alam jin yang telah dijelaskan di teks-teks Al Quran dan As Sunnah, diantara dalil-dalil tersebut antara lain:
Pertama : Dalil dari Al Quran
1.      Allah yang Mahatinggi berfirman:
]يَا مَعْشَرَ الْجِنِّ وَالإنْسِ أَلَمْ يَأْتِكُمْ رُسُلٌ مِنْكُمْ يَقُصُّونَ عَلَيْكُمْ آيَاتِي وَيُنْذِرُونَكُمْ لِقَاءَ يَوْمِكُمْ هَذَا قَالُوا شَهِدْنَا عَلَى أَنْفُسِنَا وَغَرَّتْهُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا وَشَهِدُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَنَّهُمْ كَانُوا كَافِرِينَ 
[
Hai golongan jin dan manusia, apakah belum datang kepada kalian Rasul-rasul dari golongan kalian sendiri, yang menyampaikan kepada kalian ayat-ayatKu dan memberi peringatan kepada kalian terhadap pertemuan kalian dengan hari ini?, mereka berkata, "Kami menjadi saksi atas diri kami sendiri", kehidupan dunia telah menipu mereka, dan mereka menjadi saksi atas diri mereka sendiri, bahwa mereka adalah orang-orang yang kafir”. (QS. Al An’am:130)
2.      Allah yang Mahatinggi berfirman:
]وَلَوْ شِئْنَا لآتَيْنَا كُلَّ نَفْسٍ هُدَاهَا وَلَكِنْ حَقَّ الْقَوْلُ مِنِّي لأمْلأنَّ جَهَنَّمَ مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ 
[
Dan kalau Kami menghendaki, niscaya Kami akan berikan petunjuk kepada tiap- tiap jiwa, akan tetapi telah tetaplah perkataan dari Ku, "Sesungguhnya Aku akan memenuhi neraka Jahannam itu dengan jin dan manusia bersama-sama”. (QS. As Sajdah: 13)
3.      Allah yang Mahatinggi berfirman:
]وَالْجَانَّ خَلَقْنَاهُ مِنْ قَبْلُ مِنْ نَارِ السَّمُومِ [
Dan Kami telah menciptakan jin sebelum Adam dari api yang sangat panas”. (QS. Al Hijr:27)
4.      Allah yang Mahatinggi berfirman:
]وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ 
[
Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku”         ( QS Adz Dzariyat: 56)
5.      Allah yang Mahatinggi berfirman:
]يَا مَعْشَرَ الْجِنِّ وَالإنْسِ إِنِ اسْتَطَعْتُمْ أَنْ تَنْفُذُوا مِنْ أَقْطَارِ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ فَانْفُذُوا لا تَنْفُذُونَ إِلا بِسُلْطَانٍ  
[
Hai jama'ah jin dan manusia, jika kalian mampu menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya kecuali dengan kekuatan”. (QS. Ar Rahman:33)
6.      Allah yang Mahatinggi berfirman:
]قُلْ أُوحِيَ إِلَيَّ أَنَّهُ اسْتَمَعَ نَفَرٌ مِنَ الْجِنِّ فَقَالُوا إِنَّا سَمِعْنَا قُرْآنًا عَجَبًا  
[
Katakanlah wahai Muhammad, "Telah diwahyukan kepadamu bahwasanya, sekumpulan jin telah mendengarkan Al Quran, lalu mereka berkata, “Sesungguhnya kami telah mendengarkan Al Quran yang menakjubkan”. (QS. Al Jin:1)
Kedua             : Dalil dari As Sunnah
1.      Di dalam shahih Muslim dari Ibnu Mas’ud t berkata, “Dulu kami bersama Rasulullah r pada suatu malam dan kami kehilangan Rasulullah r, lalu kami mencari beliau di lembah-lembah gunung, kemudian kami berkata, “Beliau telah diterbangkan atau telah dibunuh oleh seseorang, maka kami pun bermalam pada malam itu seakan bermalam pada malam terburuk yang dialami oleh sebuah kaum. Setelah pagi datang menyingsing, beliau datang dari arah Hara’ lalu kami berkata, “Wahai Rasulullah r, kami kehilangan dirimu, lalu kami berusaha mencarimu namun kami gagal menemukanmu, akhirnya kami bermalam pada malam terburuk yang dialami sebuah kaum, lalu Rasulullah r bersabda, “Telah datang kepadaku seorang utusan dari  bangsa jin, lalu aku pergi bersama mereka dan aku bacakan Al Quran kepada mereka”. Ibnu Masu’d t berkata, “Lalu Rasulullah r pergi bersama kami seraya memperlihatkan kepada kami bekas jejak mereka dan bekas api unggun mereka, mereka bertanya mengenai perbekalan mereka, lalu Rasulullah r bersabda, “Tulang yang dibacakan bismillah atasnya adalah halal bagi kalian apabila sampai ke tangan kalian sekaligus makanan yang bagus bagi kalian, dan kotoran hewan kami adalah makanan untuk hewan kalian”. Kemudian Rasulullah r berkata kepada kami, “Janganlah kalian beristinja’ dengan keduanya, sesungguhnya itu adalah makanan untuk saudara kalian[11]

2.      Imam Muslim dan Imam Ahmad p meriwayatkan hadits dari ‘Aisyah i berkata, “Rasulullah r telah bersabda:
خُلِقَتِ الْمَلاَئِكَةُ مِنْ نُورٍ وَخُلِقَ الْجَانُّ مِنْ مَارِجٍ مِنْ نَارٍ وَخُلِقَ آدَمُ مِمَّا وُصِفَ لَكُم
Malaikat diciptakan dari cahaya, jin diciptakan dari nyala api, dan adam diciptakan dari apa yang telah disebutkan kepada kalian[12]
Ketiga : Dalil dari Akal 
Akal tidak menafikan keberadaan perkara ghaib yang tidak tersentuh dengan panca indra, hal ini disebabkan adanya perkara-perkara yang tidak terlihat oleh manusia dunia, namun bisa dirasakan keberadaannya. Ketidakmampuan manusia untuk melihat sesuatu yang ghaib bukan berarti menafikan sesuatu tersebut, di dalam sebuah kaedah disebutkan, “Ketidaktahuan akan keberadaan sesuatu bukan berarti menafikan keberadaannya”.[13]
Muhammad Rasyid Ridho berkata, “Jika seandainya berargumentasi dengan kaedah “Bahwa ketidakmampuan untuk melihat sesuatu menunjukkan ketiadaan sesuatu tersebut” dibenarkan, dan kaedah tersebut dijadikan sebagai landasan pokok dan sandaran bagi para ilmuwan, niscaya tidak ada seorang ilmuwanpun yang akan mengadakan penelitian tentang materi-materi yang tidak diketahui, dan tidak ada seorangpun yang meneliti tentang mikrobat yang menjadikan ilmu kedokteran dan tata cara operasi berkembang pesat”[14]
Sayyid Qutub berkata, “Adapun orang-orang yang menjadikan hasil uji coba sebagai temeng untuk mengingkari apa yang Allah tetapkan berkenaan dengan alam ghaib, apakah kalian mengetahui tentang pondasi pembangun alam ghaib?. Ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia tidak mampu meliputi dan mengetahui seluruh jenis kehidupan di bumi ini, sebagaimana ilmu mereka juga tidak mampu untuk mengetahu keilmuan di planet lain”[15]
Puncak dari usaha yang dikerahkan oleh akal manusia adalah kelemahan untuk mengetahui rahasia di alam semesta ini, dan sesungguhnya puncak kebodohan adalah mengingkari tanda-tanda kekuasaan Allah di alam semesta ini dengan argumentasi bahwa perkara-perkara tersebut di luar akal dan imajinasi manusia. Segala sesuatu yang berkaitan dengan alam yang tidak terlihat, seperti jin, malaikat, dan ruh, maka akal kita harus tunduk untuk mengimaninya apa yang diberitakan oleh wahyu, karena hanya dengan mengandalkan akal maka kita akan tersesat di dalam memahami perkara-perkara spiritual dan perkara ghaib.[16]
Sungguh merupakan kesalahan fatal bagi peradaban yang mengandalkan materi seperti peradaban barat dan lainnya yang hanya beriman kepada akal dan tidak beriman bahkan mengingkari selain akal.
Betapa banyak kaum muslimin yang menyimpang setelah berusaha membelotkan pundak nash kepada akal hanya karena dorongan prasangka belaka, sehingga mereka pun terpeleset dalam bahaya yang hampir menggelincirkan mereka dari agama islam.
Tempat Tinggal Dan Tempat Yang Sering Dikunjungi Jin 
Jin memiliki tempat-tempat yang sering dihuni oleh mereka, namun mereka sering ditemukan di tempat-tempat sebagai berikut:
1.      Hutan belantara, padang pasir, lembah, maupun tebing. Telah kita sebutkan hadits Ibnu Mas’ud di atas, bagaimana Nabi r bertemu dengan mereka di tempat seperti ini kemudian beliau menyeru mereka untuk mengikuti islam.
2.      Tempat pembuangan sampah dan kotoran serta tempat-tempat yang dihadirkannya makanan.
3.      Toilet dan yang semisalnya
Dari Zaid bin Arqam t, bahwasannya Rasulullah r bersabda:
إِنَّ هَذِهِ الْحُشُوشَ مُحْتَضَرَةٌ فَإِذَا أَتَى أَحَدُكُمُ الْخَلاَءَ فَلْيَقُلْ أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الْخُبُثِ وَالْخَبَائِثِ
Sesungguhnya kebun ini berpenghuni, maka apabila seseorang di antara kalian memasuki tempat sunyi (tempat sunyi untuk buang hajat) maka ucapkanlah, أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الْخُبُثِ وَالْخَبَائِثِ  (Aku berlindung kepada Allah dari syetan laki-laki dan perempuan)[17]
4.      Lubang-lubang sempit dan terowongan
An Nasa’i telah meriwayatkan dengan sanadnya sendiri dari Qatadah dari Abdullah bin Barjas bahwasannya Nabi r bersabda, “Janganlah seseorang di antara kalian buang air kecil di lubang”, kemudian mereka bertanya kepada Qatadah, “Mengapa buang air kecil di lubang dibenci?”, Beliau menjawab, “ Dikatakan bahwa tempat tersebut adalah tempat hunian jin”.[18]
5.      Tinggal berdampingan dengan manusia di rumah mereka, jin jenis ini disebut Al Awamir. Dalil akan hal ini adalah hadits yang diriwayatkan dalam shahih Muslim yang menceritakan tentang kisah seorang pemuda dari anshar yang mendapatkan jin dalam bentuk ular di rumahnya, maka Rasulullah r bersabda:
إِنَّ بِالْمَدِينَةِ نَفَرًا مِنَ الْجِنِّ قَدْ أَسْلَمُوا فَمَنْ رَأَى شَيْئًا مِنْ هَذِهِ الْعَوَامِرِ فَلْيُؤْذِنْهُ ثَلاَثًا فَإِنْ بَدَا لَهُ بَعْدُ فَلْيَقْتُلْهُ فَإِنَّهُ شَيْطَانٌ
Sesungguhnya di Madinah terdapat sekelompok jin yang telah masuk islam, barangsiapa di antara kalian menemukan jin dari jenis ini maka hendaklah ia memberinya izin untuk pergi tiga kali,  jika kalian menemukannya di lain waktu hendaklah ia membunuhnya karena mereka adalah syetan[19]
6.      Kandang Onta
At Turmudzi meriwayatkan dari Abu Hurairah t bahwasannya Rasulullah r bersabda:
صَلُّوا فِى مَرَابِضِ الْغَنَمِ وَلاَ تُصَلُّوا فِى أَعْطَانِ الإِبِل
Shalatlah di kandang kambing dan janganlah mengerjakan shalat di kandang onta[20]
Imam Ahmad meriwayatkan hadits Abdullah bin Mughaffal bahwasanya beliau berkata: telah bersabda Rasulullah r :
صَلُّوا فِى مَرَابِضِ الْغَنَمِ وَلاَ تُصَلُّوا فِى أَعْطَانِ الإِبِلِ فَإِنَّهَا خُلِقَتْ مِنَ الشَّيَاطِينِ
7.      Tempat-tempat yang terisolisir
8.      Kuburan
Ibnu Taimiyah berkata, “Oleh karena itu, jin banyak ditemukan di tempat-tempat reruntuhan, hutan belantara, tempat-tempat yang bernajis seperti toilet, kebun tak berpenghuni, tempat sampah, tempat rongsokan, dan kuburan. Orang-orang yang mengadakan hubungan dengan jin sehingga sifat mereka seperti syetan tidak memiliki kasih sayang sama sekali sering sekali bepergian ke tampat-tempat yang dihuni oleh para syetan”.[21]
9.      Pasar 
Jin banyak ditemukan di pasar karena banyaknya penyelisihan dan pelanggaran terhadap syariat seperti wanita yang bersolek ria, para penjual yang berdusta, dan perkara-perkara yang diharamkan lainnya. Oleh karena itu, Nabi r berwasiat kepada para sahabat agar tidak menjadi orang pertama kali yang memasuki pasar dan orang terakhir yang keluar dari pasar.
Dari Salman t berkata, “Janganlah kalian menjadi orang yang pertama kali memasuki pasar dan orang terakhir kali keluar dari pasar karena terjadinya peperangan dengan syetan dan bendera perang syetan dikibarkan di pasar”.[22]



[1] . Alamul Jin Fi dhoul kitab was sunnah oleh Abdul Karim Naufan Fawaz Ubeidat, hal:8-9


[3] . Aqidatul Mukmin oleh Abu Bakar AL Jazairi, hal:228
[4] . diriwayatkan oleh Muslim, lihat shahih muslim (4/2294) no: 2996, kitab: Az Zuhd dan Ar Riqaq
[5] . Diriwayatkan oleh At Thabrani dan Al Hakim dan Al Baihaqi di dalam Al Asma’ dan Sifat dengan sanad yang shahih, lihat Shahih Al Jami’(3/85)
[6] . Mathalibu Ulin Nuha, penjelasan Ghayatul Muntaha, oleh Musthafa As Syuyuti Ar Rahibani 1/642
[7] . Idhohud Dalalah Fi Umumir Risalah, oleh Ibnu Taimiyah
[8] . Majmu’ Al Fatawa Ibnu Taimiyah 19/52, Ar Riasah Al Amah.
[9] . Syeikh Abdullah bin baz berkomentar, “Inilah pendapat yang benar, dan tidak boleh memilih pendapat lain karena sebab-sebab yang banyak”.
[10] . Majmu’ Al Fatawa 3/39
[11] . Shahih Muslim dengan penjelasan oleh An Nawawi (4/170)
[12] . Shahih Muslim dengan penjelasan oleh An Nawawi (18/123)
[13] . Alamul Jin Fi Dhouil Kitab wa Sunnah oleh Abdul Karim Ubeidat, 82/83, daaru ibnu taimiyah, riyadh
[14] . Tafsir Al Manar, Muhammad Rasyid Ridho 8/366
[15] . Fi Dzilalil Quran, oleh Sayyid Qutub 2/3722
[16] . Alamul Jin Fi Dhouill Kitab was Sunnah oleh Abdul karim Nufan Ubeidat, 88-89, Daar Ibnu Taimiyah
[17] . Diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan sanad yang shahih di dalam kitab At Thaharah no: 60
[18] . Diriwayatkan oleh An Nasa’i (1/33) di dalam bab Dibencinya buang air kecil di lubang, Al Al Bani berkata, “Hadits ini hadits shahih”, lihat mukhtasar At Targhib wa At Tarhib, hal: 62
[19] . Diriwayatkan oleh Muslim, lihat shahih Muslim (2/1757)
[20] . Al Albani berkata, “Hadits ini hadits hasan shahih”, lihat Al Irwa’ (1/194)
[21] . Majmu’ Al fatawa, Ibnu Taimiyah 19/40-41
[22] . Lihat Majma; Az Zawaid (4/77) dan berkata, “Perawi hadits ini adalah perawi hadits bukhari”.

diterjemahkan oleh Abu Rufaid Agus, Lc dari kitab " Fathul Haqqil Mubin" oleh DR. Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin AHmad Ath Thoyyar.

IKHLAS BERIBADAH

Semua orang ingin ibadahnya diterima dan berpahala, akan tetapi ibadah tidak sah dan tidak diterima jika tidak berpondasikan keikhlasan ...