Cari Blog Ini

Senin, 02 Januari 2012

Kafirkah orang yang meninggalkan shalat?


Jikalau kita cermati keadaan kaum muslimin di sekeliling kita, niscaya kita dapatkan di antara mereka terkadang shalat hanya sekali dalam sehari, atau sekali dalam seminggu, bahkan yang lebih parah lagi, di antara mereka ada yang shalat hanya sekali atau dua kali dalam setahun. Orang-orang seperti di atas, apakah masih muslim atau justru telah kafir? Samakah mereka dengan orang-orang yang mengaku islam namun tidak pernah shalat sama sekali?!
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas kita harus mengenal beberapa poin di bawah ini.
Kapan seseorang dikatakan meninggalkan shalat?
Yang dimaksud dengan meninggalkan shalat di sini adalah secara sengaja tidak mengerjakan satu shalat atau lebih, baik disertai pengingkaran wajibnya shalat atau tidak. Karenanya, orang yang meninggalkan shalat ada dua kondisi, yaitu:
-          Ia mengingkari wajibnya shalat, baik dia meninggalkan shalat keseluruhan atau sebagiannya saja.
-  Ia tidak mengingkari wajibnya shalat, bahkan meyakini wajibnya shalat, namun ia meninggalkan shalat karena malas atau kengganan mereka. Orang seperti ini juga terbagi menjadi beberapa macam, yaitu orang yang shalat hanya sekali dalam seminggu, atau sekali dalam sebulan, sekali dalam setahun, dan ada juga yang tidak shalat sama sekali.
Yang terpenting, bahwa orang yang meninggalkan shalat, dengan berbagai macam kondisi mereka, berarti telah berbuat dosa besar yang lebih besar daripada dosa-dosa besar lainnya.
Ibnu Qayyim Al Jauziyah –rahimahullah- menjelaskan, “Kaum muslimin bersepakat bahwa meninggalkan shalat lima waktu dengan sengaja adalah dosa besar yang paling besar dan dosanya lebih besar dari dosa membunuh, merampas harta orang lain, berzina, mencuri, dan minum minuman keras. Orang yang meninggalkannya akan mendapat hukuman dan kemurkaan Allah serta mendapatkan kehinaan di dunia dan akhirat.” (ash Sholah, hal : 7)
Kafirkah orang yang meninggalkan shalat?
Setelah mengetahui bahwa orang yang sengaja meninggalkan shalat wajib, berarti telah berbuat dosa besar yang lebih besar daripada dosa-dosa besar lainnya, namun, apakah berarti mereka telah kafir dan keluar dari islam?!
Dikarnakan kondisi orang yang meninggalkan shalat bermacam-macam, maka kita juga tidak bisa memukul rata bahwa setiap orang yang meninggalkan shalat berarti telah kafir alias bukan muslim lagi, namun perlu perincian, yaitu:
Pertama            : bagi orang yang meninggalkan shalat, baik meninggalkan secara keseluruhan, atau cuman sebagian, bahkan jika dia mengerjakan semua shalat wajib sekalipun, jika ia mengingkari wajibnya shalat, maka ia telah kafir dan murtad dari islam.

Hal ini adalah konsensus kaum muslimin.
Syeikh Abdul Adzim Badawi menegaskan, “Umat islam sepakat bahwa orang yang mengingkari wajibnya shalat sungguh telah kafir dan keluar dari agama Islam”. (al Wajiz : 63)
Kedua              : bagi yang masih meyakini wajibnya shalat, namun mereka meninggalkannya, baik karena malas atau maremehkan, jika meninggalkan sebagian saja, dengan kata lain, terkadang dia masih shalat, dan terkadang ia juga meninggalkan shalat tertentu, maka ia tidak dihukumi kafir, namun telah berbuat dosa besar dan terancam oleh hukuman yang pedih.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyatakan, “Jika seorang hamba melakukan sebagian perintah dan meninggalkan sebagian yang lain, maka keimanannya  sesuai dengan perintah yang ia laksanakan.  Iman itu bertambah dan berkurang. Dan bisa jadi pada seorang hamba ada iman dan nifak sekaligus. …Sesungguhnya sebagian besar manusia bahkan mayoritasnya di banyak negeri, tidaklah selalu menjaga shalat lima waktu. Dan mereka tidak meninggalkan secara total. Mereka terkadang shalat dan terkadang meninggalkannya. Orang-orang semacam ini ada pada diri mereka iman dan nifak sekaligus. Berlaku bagi mereka hukum Islam secara zhohir seperti pada masalah warisan dan semacamnya. Hukum ini (warisan) bisa berlaku bagi orang munafik tulen. Maka lebih pantas lagi berlaku bagi orang yang kadang shalat dan kadang tidak.” (Majmu’ Al Fatawa, 7/617)
Syeikh Abu Malik Kamal berkata menjelaskan perkataan Syeikhul Islam Ibnu taimiyah di atas, “Adapun kebanyakan orang sekarang ini yang terkadang shalat dan terkadang tidak shalat, maka mereka orang-orang yang tidak menjaga shalat lima waktu mereka, mereka terancam oleh hukuman yang pedih, dan tidak dihukumi kafir” (Shahih Fikih Sunnah: 232)
Adapun yang meninggalkan shalat secara terus menerus, sehingga ia tidak shalat sama sekali, atau ia meninggalkan sebagian besar shalat wajib secara terus menerus, maka dalam hal ini ulama berbeda pendapat.  Sebagian ulama berpendapat bahwa mereka masih beriman, namun ia adalah mukmin fasik, dan sebagian yang lain berpendapat mereka telah kafir. Adapun pendapat yang lebih rojih dan kuat adalah pendapat yang menyatakan bahwa mereka telah kafir. Hal ini sebagaimana telah ditunjukkan oleh al Qur’an, hadits, dan ijma’ para sahabat.
Adapun dari al Qur’an, sesungguhnya Allah telah berfirman:

فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا إِلَّا مَنْ تَابَ وَآَمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا
“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsu, maka mereka kelak akan menemui al ghoyya, kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal saleh.” (QS. Maryam: 59-60)

Al ghoyya adalah sungai di neraka jahannam, Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhuma menegaskan bahwa ‘ghoyya’ dalam ayat tersebut adalah sungai di Jahannam yang makanannya sangat menjijikkan ( ash Sholah, hal : 31)
Mari kita cermati, dalam ayat ini, Allah menjadikan ghoyya sebagai tempat akhir bagi orang yang menyia-nyiakan shalat. Maka, hal ini menunjukkan, bahwa menyia-nyiakan shalat dalam ayat ini, merupakan kekufuran. Seandainya orang yang menyia-nyiakan shalat (baca meninggalkan shalat) adalah orang yang hanya bermaksiat biasa, tentu dia akan berada di neraka paling atas, sebagaimana tempat orang muslim yang berdosa. Sedangkan ghoyya adalah bagian neraka paling bawah.
Pada ayat selanjutnya juga, Allah telah menegaskan,
إِلَّا مَنْ تَابَ وَآَمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا
“kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal saleh.”

Dari ayat ini menunjukkan bahwa orang yang meninggalkan shalat harus taubat dan beriman, seandainya orang yang menyiakan shalat adalah mukmin, tentu dia tidak dimintai taubat dan beriman.
Adapun dalil dari hadits, adalah hadits dari Jabir bin ‘Abdillah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ
“Pembatas antara seorang muslim dan kesyirikan serta kekafiran adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim no : 257)

Dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu -bekas budak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-, beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
بَيْنَ العَبْدِ وَبَيْنَ الكُفْرِ وَالإِيْمَانِ الصَّلَاةُ فَإِذَا تَرَكَهَا فَقَدْ أَشْرَكَ
“Pemisah antara seorang hamba dengan kekufuran dan keimanan adalah shalat. Apabila dia meninggalkannya, maka dia melakukan kesyirikan.” (HR. Ath Thabariy  dan dihahihkan oleh Ayaikh Al Albani mengatakan hadits ini shohih. Lihat Shohih At Targib wa At Tarhib no : 566).

Dua hadits ini dengan gamblang menjelaskan bahwa pembeda antara muslim dan kafir adalah shalat, jika seseorang meninggalkan shalat, maka tidak ada bedanya antara dirinya dengan orang kafir.

Adapun dalil dari perkataan sahabat adalah  perkataan Umar
لاَ إِسْلاَمَ لِمَنْ تَرَكَ الصَّلاَةَ
“Tidaklah disebut muslim bagi orang yang meninggalkan shalat.”

Dari jalan yang lain adalah perkataan Umar. Yaitu, tatkala beliau menjelang sakaratul maut, beliau menegaskan, “Tidak ada bagian dalam Islam bagi yang meninggalkan shalat. (dishahihkan oleh syeikh al Albani dalam irwa’ ghalil no: 209)

Di sini, tidak ada salah satu sahabatpun yang meningkari perkataan Umar, sehingga bisa dikatakan kafirnya orang yang meninggalkan shalat adalah pendapat para sahabat bahkan kesepakatan mereka para sahabat.

Ibnul Qayyim mengatakan, “Tidakkah seseorang itu malu dengan mengingkari pendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir, padahal hal ini telah dipersaksikan oleh al Qur’an, as Sunnah dan kesepakatan sahabat?!”

Sudah sepatutnya kita menjaga shalat lima waktu. Barangsiapa yang selalu menjaganya, berarti telah menjaga agamanya. Barangsiapa yang sering menyia-nyiakannya, maka untuk amalan lainnya akan lebih disia-siakan lagi.

Umar bin Al Khoththob –radhiyallahu ‘anhu- mengatakan, “Sesungguhnya di antara perkara terpenting bagi kalian adalah shalat. Barangsiapa menjaga shalat, berarti dia telah menjaga agama. Barangsiapa yang menyia-nyiakannya, maka untuk amalan lainnya akan lebih disia-siakan lagi. Tidak ada bagian dalam Islam, bagi orang yang meninggalkan shalat.”.
Wallahu a’lam bishowab dan semoga bermanfaat bagi kita semua.

IKHLAS BERIBADAH

Semua orang ingin ibadahnya diterima dan berpahala, akan tetapi ibadah tidak sah dan tidak diterima jika tidak berpondasikan keikhlasan ...