Polemik membaca kitab suci Al Qur’an dengan langgam jawa
muncul setelah bacaan ini dilantunkan di Istana Negara saat peringatan Isro’
Mi’roj pada hari jumat 15 April 2015.
Sebagian kalangan membolehkan bacaan tersebut dengan dalih:
a.
Cara membaca Al Qur’an selama ini merupakan hasil dari
seni budaya masyarakat tertentu.
b.
Satu masyarakat dengan masyarakat lainnya tidak
memiliki kesamaan langgam dalam membeca al qur’an, oleh karena itu, setiap
komunitas boleh membaca al qur’an dengan langgam yang lazim di antara mereka.
c.
Tujuan pembacaan Al-Quran dengan langgam Jawa adalah
menjaga dan memelihara tradisi Nusantara dalam menyebarluaskan ajaran Islam di
tanah air.
d.
Selama langgam tersebut sesuai dan tidak menyalahi
hukum tajwid yang sudah ditetapkan para qurro atau ulama dibidang Al-Qur’an,
maka langgam jawa diperbolehkan.
Sebagian lain pun melarangnya, dengan dalih :
a.
Banyak huruf yang terbaca secara tawallud karena
mengejar irama
b. Seharusnya
lahjah membaca al qur’an adalah lahjah Arab, berdasarkan hadits berikut, “Bacalah Al-Quran dengan lagu dan suara orang Arab. Jauhilah
lagu/irama ahlkitab dan orang orang fasiq. Nanti akan ada orang datang
setelahku membaca Alquran seperti menyanyi dan melenguh, tidak melampau
tenggorokan mereka. Hati mereka tertimpa fitnah, juga hati orang yang
mengaguminya. (HR. Tarmidzi, dan
dinyatakan dho’if oleh Al Albani dalam Dho’iful Jami no :1067)
c.
Membaca al qur’an dengan langgam jawab merupakan
bentuk memaksakan bacaan, atau takalluf. Pembacanya terlalu memaksakan untuk
meniru lagu yang 'tidak lazim' dalam membaca Al-Quran.
d.
Membaca al qur’an dengan langgam jawab biasanya
diiringi niat merasa perlu menonjolkan kejawaan atau keindonesiaan. Hal ini membangun
sikap ashabiyyah dalam ber-Islam. Padahal ashabiyah itu hukumnya haram.
e.
Membaca al qur’an dengan langgam jawab bisa termasuk
perbuatan yang memperolok-olokkan ayat-ayat Allah, karena menyamakan dengan
lagu-lagu wayang dalam suku Jawa.
f.
Menggunakan langgam jawa dalam membaca al qur’an akan
merusak keindahan Alquran itu sendiri. Seandainya lagu Jawa dinyanyikan pakai
cara seriosa, maka penciptanya akan protes dan keindahannya hilang.
Bahkan, sebagian kalangan sampai menyatakan bahwa melantunkan
al qur’an dengan langgam jawa adalah bentuk kekufuran, pelakunya harus taubat,
karena melantunkan al qur’an dengan langgam jawab adalah bentuk mengolok olok
al qur’an, dan mengolok-olok agama atau sesuatu dari agama adalah perbuatan
yang menyebaban pelakunya kufur.
Lalu, manakah yang benar?
Di sinilah banyak orang yang bingung, dan banyak pula orang
yang terjebak pada ilmu instan. Maksudnya, banyak sekali orang yang ingin tahu
jawaban dari para ulama secara signifikan, langsung menjawab hukum melantunkan
al quran dengan langgam jawa, padahal para ulama sejak dahulu kala telah
memberikan batasan-batasan dalam membaca al qur’an, yang sekiranya seseorang
mau memperhatikannya, niscaya dia tahu hukum melantunkan al qur’an dengan
langgam jawa.
Di antara para ulama yang telah menjabarkan ketentuan
melagukan Al qur’an adalah imam ibnul qoyim rahimahullah dalam kitab beliau
zaadul ma’ad (1:474), ringkasnya beliau menyebutkan beberapa ketentuan irama
atau lagu dalam membaca al qur’an sebagai berikut :
2- Irama yang dibuat-buat, bukan dari tabiat asli, diperoleh dengan memberat-beratkan diri, dibuat-buat dan dibutuhkan latihan sebagaimana para penyanyi berlatih untuk mahir dalam mendendangkan lagu. Melagukan semacam ini dibenci oleh para ulama salaf, mereka mencela dan melarangnya. Para ulama salaf dahulu mengingkari cara membaca Al-Qur’an dengan dibuat-buat seperti itu.
Kedua kaedah ini adalah kaedah berkaitan dengan cara membaca
atau lahn atau irama, adapun jika dilihat dari sisi kaedah tajwid, maka membaca
al qur’an harus terpenuhi syarat di antara lain, tidak keluar dari kaedah dan
aturan tajwid atau huruf yang dibaca tetap harus jelas sesuai kaedah tajwid.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah
menyatakan, “Tidak boleh bagi seorang mukmin membaca Al Qur’an dengan nada-nada
para penyayi. Yang diperintahkan bagi kita adalah membaca Al Qur’an seperti
yang dibaca oleh para ulama salaf kita yang shalih yaitu para sahabat radhiyallahu ‘anhum dan yang mengikuti mereka. Caranya
adalah memperindah bacaan dengan tartil, dengan meresapi dan khusyu’ sampai
berpengaruh dalam hati yang mendengarkan maupun yang membaca. Adapun membaca
Al-Qur’an dengan cara yang biasa dilakukan oleh para penyayi, seperti itu
tidaklah dibolehkan.” (Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah)
Bagi yang
mau jujur memperhatikan batasan-batasan dalam membaca Al Qur’an yang telah
disampaikan para ulama, niscaya ia mengetahui bahwa melantunkan Al Qur’an
dengan langgam jawa terdapat beberapa kesalahan, di antara lain:
a. Irama
langgam jawa dalam membaca Al Qur’an termasuk irama yang dibuat-buat dan
memberatkan diri. Berbeda halnya, jika seseorang membaca Al qur’an dengan logat
jawa atau sunda atau lainya yang telah menjadi gaya bacaan dia, tanpa harus
memberatkan diri.
b.
Belum lagi adanya beberapa kesalahan dalam mengucapkan
huruf yang dipaksakan mengikuti lagu.
c.
Membaca Al Qur’an dengan langgam jawa adalah cara yang
biasa dilakukan penyanyi.
Adanya tiga
kesalahan ini, sebenarnya cukup untuk menyatakan bahwa melantunkan Al Qur’an
dengan langgam jawa ini tidak diperbolehkan. Belum lagi beberapa kesalahan yang
bisa saja terlahir dari melantunkan Al Qur’an dengan langgam jawa, seperti:
a. Bisa saja
dilakukan karena riya dan kefanatikan. Meskipun riya dan kefanatikan bisa saja
terjadi meskipun melagukan Al Qur’an dengan tartil.
b.
Bisa saja pelakunya ingin bermain-main dengan Al Qur’an,
meskipun hal ini yang tahu hanya pelakunya sendiri atau yang memperkasainya.
c.
Bisa saja seseorang yang mendengar lantunan Al Qur’an
dengan langgam jawa terkejut sehingga tidak bisa menghayatinya, padahal tujuan
membaca Al Qur’an adalah untuk dihayati.
d. Belum lagi
kekhawatiran akan adanya orang-orang lain yang mengganti irama langam jawab
dengan aliran-aliran musik lainnya seperti rock, jazz, dan lain-lainnya.
Adapun alasan orang yang membolehkan karena cara membaca Al Qur’an adalah
hasil seni budaya, buktinya satu masyarakat dengan masyarakat lainnya tidak
memiliki kesamaan dalam melagukan a qur’an, maka bisa dijawab, bahwa ketidaksamaan
tersebut adalah proses alamiah yang tidak ada usaha mengada-ada atau
membuat-buat lagu,jika demikian halnya maka melagukan Al Qur’an yang ada logat
jawa atau sunda tidak dilarang. Karena termasuk irama yang mengikuti tabiat
manusia tanpa berlebihan.
Adapun alasan yang membolehkan langgam jawa dalam membaca Al Qur’an dengan
tujuan menyebarkan islam dengan tradisi nusantara, maka hal ini tidak
diperlukan, karena kaum muslimin dengan berbagai suku dan latar belakang apapun
sudah bisa menerima irama-irama Al Qur’an sekarang ini, dan tidak perlu
disesuaikan dengan irama lagu masing-masing daerah.
Dan terakhir, jika kita anggap melantunkan Al Qur’an dengan langgam jawa
itu boleh karena tidak menyelisihi kaedah tajwid, maka ini termasuk sesuatu
yang boleh secara hukum asal, namun tidak boleh dilakukan karena adanya tujuan
syariat yang tidak terwujud atau karena adanya dampak-dapak lain yang buruk.
Semoga yang sedikit ini memberikan pencerahan kepada penulis khususnya dan
pembaca pada umumnya. Wallhu a’lam bis showab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar