Cari Blog Ini

Kamis, 21 Mei 2015

POLEMIK BACA AL QUR’AN DENGAN LANGGAM JAWA



Polemik membaca kitab suci Al Qur’an dengan langgam jawa muncul setelah bacaan ini dilantunkan di Istana Negara saat peringatan Isro’ Mi’roj pada hari jumat 15 April 2015.

Sebagian kalangan membolehkan bacaan tersebut dengan dalih:

a.      Cara membaca Al Qur’an selama ini merupakan hasil dari seni budaya masyarakat tertentu.

b.      Satu masyarakat dengan masyarakat lainnya tidak memiliki kesamaan langgam dalam membeca al qur’an, oleh karena itu, setiap komunitas boleh membaca al qur’an dengan langgam yang lazim di antara mereka.

c.       Tujuan pembacaan Al-Quran dengan langgam Jawa adalah menjaga dan memelihara tradisi Nusantara dalam menyebarluaskan ajaran Islam di tanah air.

d.      Selama langgam tersebut sesuai dan tidak menyalahi hukum tajwid yang sudah ditetapkan para qurro atau ulama dibidang Al-Qur’an, maka langgam jawa diperbolehkan.

Sebagian lain pun melarangnya, dengan dalih :

a.      Banyak huruf yang terbaca secara tawallud karena mengejar irama

b.      Seharusnya lahjah membaca al qur’an adalah lahjah Arab, berdasarkan hadits berikut, “Bacalah Al-Quran dengan lagu dan suara orang Arab. Jauhilah lagu/irama ahlkitab dan orang orang fasiq. Nanti akan ada orang datang setelahku membaca Alquran seperti menyanyi dan melenguh, tidak melampau tenggorokan mereka. Hati mereka tertimpa fitnah, juga hati orang yang mengaguminya. (HR. Tarmidzi, dan dinyatakan dho’if oleh Al Albani dalam Dho’iful Jami no :1067)





c.       Membaca al qur’an dengan langgam jawab merupakan bentuk memaksakan bacaan, atau takalluf. Pembacanya terlalu memaksakan untuk meniru lagu yang 'tidak lazim' dalam membaca Al-Quran.

d.      Membaca al qur’an dengan langgam jawab biasanya diiringi niat merasa perlu menonjolkan kejawaan atau keindonesiaan. Hal ini membangun sikap ashabiyyah dalam ber-Islam. Padahal ashabiyah itu hukumnya haram.

e.      Membaca al qur’an dengan langgam jawab bisa termasuk perbuatan yang memperolok-olokkan ayat-ayat Allah, karena menyamakan dengan lagu-lagu wayang dalam suku Jawa.
f.        Menggunakan langgam jawa dalam membaca al qur’an akan merusak keindahan Alquran itu sendiri. Seandainya lagu Jawa dinyanyikan pakai cara seriosa, maka penciptanya akan protes dan keindahannya hilang.

Bahkan, sebagian kalangan sampai menyatakan bahwa melantunkan al qur’an dengan langgam jawa adalah bentuk kekufuran, pelakunya harus taubat, karena melantunkan al qur’an dengan langgam jawab adalah bentuk mengolok olok al qur’an, dan mengolok-olok agama atau sesuatu dari agama adalah perbuatan yang menyebaban pelakunya kufur.

Lalu, manakah yang benar?

Di sinilah banyak orang yang bingung, dan banyak pula orang yang terjebak pada ilmu instan. Maksudnya, banyak sekali orang yang ingin tahu jawaban dari para ulama secara signifikan, langsung menjawab hukum melantunkan al quran dengan langgam jawa, padahal para ulama sejak dahulu kala telah memberikan batasan-batasan dalam membaca al qur’an, yang sekiranya seseorang mau memperhatikannya, niscaya dia tahu hukum melantunkan al qur’an dengan langgam jawa.

Di antara para ulama yang telah menjabarkan ketentuan melagukan Al qur’an adalah imam ibnul qoyim rahimahullah dalam kitab beliau zaadul ma’ad (1:474), ringkasnya beliau menyebutkan beberapa ketentuan irama atau lagu dalam membaca al qur’an sebagai berikut :

1- Irama yang mengikuti tabiat asli manusia, tanpa memberat-beratkan diri, belajar atau berlatih khusus. Melagukan bacaan Al-Qur’an seperti ini dibolehkan.

2- Irama yang dibuat-buat, bukan dari tabiat asli, diperoleh dengan memberat-beratkan diri, dibuat-buat dan dibutuhkan latihan sebagaimana para penyanyi berlatih untuk mahir dalam mendendangkan lagu. Melagukan semacam ini dibenci oleh para ulama salaf, mereka mencela dan melarangnya. Para ulama salaf dahulu mengingkari cara membaca Al-Qur’an dengan dibuat-buat seperti itu.

Kedua kaedah ini adalah kaedah berkaitan dengan cara membaca atau lahn atau irama, adapun jika dilihat dari sisi kaedah tajwid, maka membaca al qur’an harus terpenuhi syarat di antara lain, tidak keluar dari kaedah dan aturan tajwid atau huruf yang dibaca tetap harus jelas sesuai kaedah tajwid. 

Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menyatakan, “Tidak boleh bagi seorang mukmin membaca Al Qur’an dengan nada-nada para penyayi. Yang diperintahkan bagi kita adalah membaca Al Qur’an seperti yang dibaca oleh para ulama salaf kita yang shalih yaitu para sahabat radhiyallahu ‘anhum dan yang mengikuti mereka. Caranya adalah memperindah bacaan dengan tartil, dengan meresapi dan khusyu’ sampai berpengaruh dalam hati yang mendengarkan maupun yang membaca. Adapun membaca Al-Qur’an dengan cara yang biasa dilakukan oleh para penyayi, seperti itu tidaklah dibolehkan.” (Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah)

Bagi yang mau jujur memperhatikan batasan-batasan dalam membaca Al Qur’an yang telah disampaikan para ulama, niscaya ia mengetahui bahwa melantunkan Al Qur’an dengan langgam jawa terdapat beberapa kesalahan, di antara lain:

a.      Irama langgam jawa dalam membaca Al Qur’an termasuk irama yang dibuat-buat dan memberatkan diri. Berbeda halnya, jika seseorang membaca Al qur’an dengan logat jawa atau sunda atau lainya yang telah menjadi gaya bacaan dia, tanpa harus memberatkan diri.
b.      Belum lagi adanya beberapa kesalahan dalam mengucapkan huruf yang dipaksakan mengikuti lagu.
c.       Membaca Al Qur’an dengan langgam jawa adalah cara yang biasa dilakukan penyanyi.

Adanya tiga kesalahan ini, sebenarnya cukup untuk menyatakan bahwa melantunkan Al Qur’an dengan langgam jawa ini tidak diperbolehkan. Belum lagi beberapa kesalahan yang bisa saja terlahir dari melantunkan Al Qur’an dengan langgam jawa, seperti:

a.      Bisa saja dilakukan karena riya dan kefanatikan. Meskipun riya dan kefanatikan bisa saja terjadi meskipun melagukan Al Qur’an dengan tartil.

b.      Bisa saja pelakunya ingin bermain-main dengan Al Qur’an, meskipun hal ini yang tahu hanya pelakunya sendiri atau yang memperkasainya.

c.       Bisa saja seseorang yang mendengar lantunan Al Qur’an dengan langgam jawa terkejut sehingga tidak bisa menghayatinya, padahal tujuan membaca Al Qur’an adalah untuk dihayati.

d.      Belum lagi kekhawatiran akan adanya orang-orang lain yang mengganti irama langam jawab dengan aliran-aliran musik lainnya seperti rock, jazz, dan lain-lainnya.

Adapun alasan orang yang membolehkan karena cara membaca Al Qur’an adalah hasil seni budaya, buktinya satu masyarakat dengan masyarakat lainnya tidak memiliki kesamaan dalam melagukan a qur’an, maka bisa dijawab, bahwa ketidaksamaan tersebut adalah proses alamiah yang tidak ada usaha mengada-ada atau membuat-buat lagu,jika demikian halnya maka melagukan Al Qur’an yang ada logat jawa atau sunda tidak dilarang. Karena termasuk irama yang mengikuti tabiat manusia tanpa berlebihan.

Adapun alasan yang membolehkan langgam jawa dalam membaca Al Qur’an dengan tujuan menyebarkan islam dengan tradisi nusantara, maka hal ini tidak diperlukan, karena kaum muslimin dengan berbagai suku dan latar belakang apapun sudah bisa menerima irama-irama Al Qur’an sekarang ini, dan tidak perlu disesuaikan dengan irama lagu masing-masing daerah.

Dan terakhir, jika kita anggap melantunkan Al Qur’an dengan langgam jawa itu boleh karena tidak menyelisihi kaedah tajwid, maka ini termasuk sesuatu yang boleh secara hukum asal, namun tidak boleh dilakukan karena adanya tujuan syariat yang tidak terwujud atau karena adanya dampak-dapak lain yang buruk.

Semoga yang sedikit ini memberikan pencerahan kepada penulis khususnya dan pembaca pada umumnya. Wallhu a’lam bis showab.

Tidak ada komentar:

IKHLAS BERIBADAH

Semua orang ingin ibadahnya diterima dan berpahala, akan tetapi ibadah tidak sah dan tidak diterima jika tidak berpondasikan keikhlasan ...